Hasil perbincangan saya dengan seorang sahabat—yang katanya calon psikolog ini— akhirnya menyimpulkan bahwa memang tidak ada yang salah menikah di usia yang relatif muda. Walaupun kami sendiri memang belum menikah, tentu karena memang belum Tuhan pertemukan dengan jodoh kami masing-masing. Dan sepertinya Tuhan memang paham bahwa kami memang sedang fokus pada pencapaian kami masing-masing, dan sedang saling memperbaiki dan memantaskan diri bagi jodoh yang baik. Tuhan memang selalu tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Maka kami pun sebenarnya sangat menyayangkan komentar-komentar miring semacam itu. Berbekal cerita dari seorang dosen, sahabat saya itu pun akhirnya menceritakan bahwa semasa kuliahnya, sang dosen tersebut pun memiliki teman yang menikah ketika tengah menempuh kuliahnya. Lalu apa yang terjadi? Komentar-komentar miring seperti yang telah disebutkan di atas itu, ternyata sama sekali tidak terbukti. Yang terjadi adalah bahwa suami beliau senantiasa memotivasi beliau, bahkan termasuk untuk hal-hal yang berurusan dengan pendidikan yang tengah ditempuhnya. Dan yang paling membuat kami berdecak kagum adalah perlakuan istimewa yang diberikan sang suami ketika beliau sedang ujian, yaitu sang suami mengharamkan beliau untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah (semacam membersihkan rumah, mengepel, mencuci piring, dsb). Setiap ujian semester berlangsung, sang suami selalu memperlakukan beliau bak seorang putri. Beliau hanya diperkenankan untuk fokus dengan ujian semesternya saja. Luar biasa bukan?
Fakta lainnya adalah tentunya memilih menikah di usia ini jauh lebih baik, ketimbang terus-menerus mempertahankan hubungan pacaran yang belum jelas juntrungannya. Yang secara agama pun ‘sebenarnya’ dilarang, karena mendekatkan diri pada kemaksiatan tentunya. Apalagi jika menyaksikan perkembangan pergaulan jaman sekarang. Tak jarang membuat kita secara refleks mengucap istighfar.
Gaya berpacaran anak jaman sekarang yang semakin kelewat batas inilah yang semestinya dipersoalkan. Apakah menikah di usia yang relatif  muda ini  lebih buruk ketimbang mempertahankan kemaksiatan?. Bukankah mengerikan jika generasi muda yang kelak akan memimpin bangsa ini, malah berlomba-lomba melakukan kemaksiatan?. Sedangkan yang memilih menikah muda malah dipandang sebelah mata, padahal jelas ini yang syah secara agama dan Negara. Memang di jaman yang serba kekinian ini, agak sulit menemukan kebenaran. Ketika kesalahan sudah menjadi mayoritas, maka secara tidak langsung kebenaran akan menjadi kesalahan. Naudzubillah..
Untuk pernyataan yang menyatakan bahwa sebaiknya kita bekerja dulu agar bisa membahagiakan orang tua, sebelum menikah, ini agak mengganjal juga. Apakah kebahagiaan orang tua bisa dilihat dari pekerjaan anaknya saja? Bukankah kebahagiaan yang sesungguhnya—yang bisa dibawa mati—adalah ketika anak-anaknya menjadi anak yang shaleh dan shalehah? Lalu bagaimana jika ternyata orang tua justru lebih bahagia ketika menyaksikan anak-anaknya hidup bahagia dengan menantu dan cucunya? Bukankah itu yang lebih berarti? Dan bukankah ada jaminan surga bagi seorang ayah yang berhasil menjaga dan mengantarkan kesucian anak wanitanya sampai menikah?  Subhanallahu…
Jika Anda pernah membaca buku Felix Siauw  yang berjudul ‘Udah Putusin Aja!’, Anda tentu akan lebih menemukan banyak fakta mengerikan lainnya dari hubungan berpacaran anak jaman sekarang. Bagaimana disebutkan bahwa sekian persen dari jumlah remaja putri di Indonesia dinyatakan sudah tidak perawan lagi. Begitu murah kah harga sebuah keperawanan, hingga tak layak dipertahankan untuk pasangan syah kita, kelak? (Jika Anda belum membaca buku ini, saya sarankan Anda untuk membacanya, karena memang banyak ‘moral value’ nya).
Lalu untuk pernyataan terakhir, yang menyatakan bahwa—di usia 19-20 an ini—sistem reproduksi dan kandungan seorang wanita masih belum siap ini, amatlah disayangkan oleh sahabat saya itu. Ia menyatakan bahwa justru di usia ini, kandungan dan sistem reproduksi seorang wanita sedang baik-baiknya. Bukankah ada batasan bahwa sampai usia berapa seorang wanita masih bisa melahirkan dengan baik? Bukankah semakin tua, fisik seseorang sudah tidak terlalu baik, apalagi bagi seorang wanita untuk melahirkan? Dan bukankah usia produktif seperti kita inilah yang jauh lebih baik dan lebih terjamin untuk bisa melahirkan keturunan yang sehat?
Lalu, masihkah ada alasan untuk tidak menghargai keputusan orang-orang yang memilih menikah di usia relatif muda itu? Jika tujuannya jelas adalah mengharap Ridha-Nya.
Terakhir, saya hanya bisa menyimpulkan bahwa “Tidak ada yang salah dengan menikah muda (jika tujuannya adalah karena-Nya), yang salah adalah jika pernikahan itu terjadi akibat sebuah ‘accident’ yang kurang diharapkan, tapi tentu lebih salah lagi jika itu akhirnya tidak dinikahkan—bahkan digugurkan— Naudzubillah…
Tanpa berniat saling menyalahkan, hanya ingin saling mengingatkan, dan meluruskan pandangan. Agar kita menjadi orang yang sama-sama lebih bijak dalam memberikan tanggapan pada mereka yang memilih menikah untuk mengharap Ridha-Nya, walau di usia 19-20 an.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H