Mohon tunggu...
dewi kurniawati
dewi kurniawati Mohon Tunggu... -

|19th years old| belum siap menghadapi kepala dua| wartawan-akuntan| ialah seorang mahasiswa akuntansi yang menggemari dunia jurnalistik|

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tidak Ada yang Salah dengan Menikah Muda [Part 1]

4 Februari 2014   23:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:09 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapan kita mulai sadar jika usia kita semakin menua? Ya, salah satunya ketika mendapat undangan pernikahan teman sebaya. Mungkin usia kita memang masih muda, tapi tentunya itu beriringan dengan semakin menuanya usia kita, yang pada akhirnya membuat kita berpikir untuk menentukan akan dibawa kemana kehidupan ini. Akan seperti apa kehidupan kita di masa yang akan datang? Dan langkah apa yang harus kita lakukan sekarang, agar esok mendapatkan kehidupan yang didambakan?

Usia 19-20 an memang bukan kategori tua. Tetapi sekali lagi, itu proses menua. Usia dimana seseorang mulai dianggap dewasa, mulai ditimpa beragam masalah yang sama sekali tak pernah terpikirkan sebelumnya. Rangkain peristiwa-peristiwa yang tidak terduga, yang kadang memancing emosi itu merupakan proses pendewasaan. Dimana seseorang dituntut untuk pandai bersikap, mengambil keputusan, dan menentukan langkah untuk kebaikan hidupnya kelak. Pada usia ini, seseorang memiliki beragam pilihan. Ada yang tengah menempuh pendidikan di bangku kuliah, ada yang memilih bekerja dulu, atau ada juga yang memilih menikah—tentu karena sudah ada jodohnya—.

Nah pilihan terakhir itulah yang menarik untuk dibahas. Pernikahan itu bisa berlangsung setelah lulus SMA, bisa juga yang setelah lulus SMA memilih bekerja dulu sebentar—baru menikah—, atau ada juga yang memilih menikah ketika sedang menempuh pendidikan di bangku kuliah. Rencana Tuhan memang tidak ada yang tahu. Ketika Tuhan mempertemukan kita dengan jodoh kita di usia yang tergolong masih sangat muda, tidak ada yang bisa kita lakukan bukan? Selain bersyukur. Itu juga bisa berarti bahwa Tuhan memberikan kepercayaan lebih kepada kita di usia yang masih sangat muda untuk berumah tangga, mengabdikan diri kepada pasangan syah.

Di tengah kesibukan saya menyelesaikan studi strata satu dan kesibukan berorganisasi, undangan pernikahan dari teman-teman tak jarang datang kepada saya. Entah itu dari kartu undangan yang sampai ke rumah, dari sms berantai teman-teman, atau dari group di sosial media. Undangan itu beragam datangnya, dari teman kecil, teman sd, sahabat dekat, sampai yang terakhir teman sekelas saya di bangku kuliah. Tentu tak ada reaksi lain yang bisa saya tunjukkan, kecuali mengucap syukur karena terharu dan bahagia melihat teman—yang rasanya baru kemarin saling bermain bersama, menggila bersama, susah senang bersama itu—akhirnya sudah Tuhan temukan dengan jodohnya.

Di tengah rasa syukur atas pernikahan teman tersebut, komentar miring kerap saja mampir dari sebagian orang. Komentar itu bisa berupa reaksi kaget penuh ketidak percayaan, karena pernikahan yang mereka anggap masih terlalu muda itu. Pernyataan-pernyataan seperti, “Serius lo? Ya ampun gue nggak percaya banget dia mau married semuda ini, emang dia udah siap?”, “Beneran dia lulus SMA mau langsung married? Nggak mau kuliah dulu gitu? Atau paling nggak, kerja dulu kek? Biar bisa bahagiain orang tua dulu”, “Ya ampun dia kan masih kuliah, yakin kuliahnya gak keteteran? Kalo pas di tengah jalan dia hamil kan, malah repot, apa bakal kelar kuliahnya? Belum lagi tugas-tugas kuliah, terus skripsi juga, apa bisa fokus kuliah sambil ngurus keluarga?”, sampai yang terakhir saya dengar, “Ya ampun itu cowoknya gak sabaran banget sih.. paling nggak tunggu sampe lulus kuliah lah, dasar cowok yah! Lagian kan kalo seumuran kita, kandungan sama sistem reproduksinya masih belum siap, malah kasian kali”.

Secara pribadi saya kurang setuju dengan pernyataan-pernyataan di atas, yang ditujukan bagi mereka yang akan segera menikah. Mungkin masih masuk akal jika itu ditujukan kepada diri sendiri atau bagi lingkungan yang satu visi—yang ingin fokus kuliah atau bekerja dulu—, tentu sebagai bentuk proteksi diri agar tidak terlalu mempermasalahkan persoalan percintaan yang ‘katanya’ rumit itu. Namun ini pun tidak boleh menyudutkan atau bahkan menjadikan kita antipati terhadap mereka yang memilih menikah muda. Raut wajah gembiralah, yang tetap lebih pantas kita perlihatkan ketika teman mengabarkan berita pernikahannya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun