Ketika mendengar kata kelas, yang terbayang dalam benak kita adalah sebuah ruangan dengan papan tulis, meja, kursi, dan tidak lupa sosok guru yang mengajar. Gambaran umum tersebut muncul sebagai sebuah manifesto atas lapisan terluar dari dunia pendidikan.
Satu hal yang perlu kita ingat, tampilan luar dari sesuatu, merupakan cerminan dari apa yang terjadi di dalam sesuatu tersebut. Begitu pula dengan wajah pendidikan kita yang terbentuk dari bagaimana "isi" di dalamnya. Berbicara tentang "isi" dalam dunia pendidikan, sudah tentu meliputi pelbagai elemen, antara lain guru, siswa, kurikulum, perangkat pembelajaran, dan media pembelajaran. Pelbagai elemen tersebut saling berkaitan membentuk sistem dalam pendidikan.
Dari sekian elemen pendidikan yang sudah disebutkan sebelumnya, guru berada di posisi inti. Guru adalah sosok terdepan, yang tampil secara personal untuk membangun interaksi pembelajaran bersama peserta didik. Dalam interaksinya, guru memiliki sejumlah "senjata" sebagai amunisi dalam menghadapi karakter siswa yang heterogen.
Dalam perjalanan mengajar, guru tidak hanya berperan sebagai pemberi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga dituntut untuk mampu berkontribusi sebagai agen perubahan. Sebuah konsep dari Ki Hajar Dewantara, yaitu Trikon (kontinuitet, konvergensi, konsentrisitet), tampak tepat dalam pembahasan mengenai sosok guru sebagai pemimpin perubahan.Â
Kontinuitet adalah tindakan progresif yang tidak sekadar perulangan atas sebuah keberhasilan, tapi ada tindakan nyata yang bersifat lebih maju dan positif. Lalu, konvergensi adalah keterampilan berbaur atau bersosialisasi dengan pelbagai pihak. Sementara konsentrisitet adalah keyakinan untuk selalu menjunjung tinggi kepribadian bangsa dalam berperilaku.
Maksud konsep diri dari Ki Hajar Dewantara ini merupakan bekal kepribadian yang semestinya dimiliki oleh seorang pendidik, agar segala langkah yang dilakukan guru lebih terarah dan bermakna. Kebermaknaan inilah yang menjadi kunci seorang guru dipandang sebagai sosok yang selalu dinanti kehadirannya. Sosok yang dicari dan dirindukan oleh siapa saja yang pernah bersinggungan dengan guru tersebut. Untuk mencapai itu, guru hendaknya memiliki kompetensi kepemimpinan yang mumpuni.
Peran kepemimpinan seorang guru sangat penting, karena seorang guru berhadapan dengan manusia. Bukan kertas, bukan benda mati. Ada seni kepemimpinan yang musti dikuasai oleh seorang guru, untuk bisa memegang kendali siswanya, baik di kelas atau di luar kelas. Terlebih di abad XXI ini. Era dimana karakteristik siswa lebih beragam. Era dimana tantangan teknologi berkembang sangat pesat dengan semua pengaruhnya, baik positif maupun negatif.
Bila seorang guru tidak memiliki jiwa kepemimpinan, bagaimana nilai-nilai kebaikan dalam dirinya dapat dirasakan? Apa yang terjadi, bila seorang guru tidak dapat menguasai kelasnya sendiri? Sudah tentu, peserta didik tidak akan memiliki kebermaknaan dalam proses belajarnya. Siswa hanya akan merasa sekolah sebagai sebuah rutinitas. Berangkat pagi, duduk di kelas, mengerjakan tugas, pulang. Begitu seterusnya.
Lantas, apakah sosok guru yang berkepemimpinan baik adalah guru yang keras dalam mengajar? Guru yang lekat dengan stigma "monster"? Jawabannya, bukan. Guru yang berkemimpinan baik adalah guru yang mampu memompa semangat siswanya untuk menjadi pribadi luhur dengan potensi terbaiknya.
Guru yang memimpin kelasnya dengan baik, adalah guru yang mampu membawa siswanya menemukan makna hidup dengan bijaksana. Bukan guru yang ditakuti, tapi disegani karena keilmuannya. Bukan guru yang dihindari, tapi senantiasa didekati karena welas asihnya. Bukan guru yang diabaikan kehadirannya, tapi guru yang diperhatikan karena setiap tutur katanya adalah rangkaian kalimat menarik yang memantik kreativitas.
Niat dan Komitmen