Mohon tunggu...
Evi Handayani
Evi Handayani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa PPG Prajabatan Gelombang 2 Universitas Sebelas Maret

Saya memiliki ketertarikan dengan dunia anak, termasuk cerita-cerita anak. Saya juga senang dengan dunia memasak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

27 Februari

5 Maret 2012   13:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:28 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Travelingmu di bumi selesai sampai pukul 07.00 pagi. Ketika itu aku sedang mempersiapkan diri pergi ke sebuah ruangan ber-AC untuk segores tanda tangan dosen asing yang belum pernah kutemui sebelumnya. Tidak tahu pasti kapan datang dan jika sudah mendapatkannya aku tidak tahu apakah tanda tangan itu akan benar-benar berguna atau tidak untuk masa depanku.

Sabtu, dua hari sebelum hari istimewamu. Aku ingin merebahkan kepala di tempat tidurmu dan mencium tanganmu meski hanya satu detik. Tapi petir berkali-kali menyerukan suaranya dan hujan menahanku di tempat berjuta manusia berkumpul di sana. Sampai senja menjadi maghrib lalu berubah isya’. Aku perih mengingat nyaliku yang ciut terhadap angin dan hujan saat itu karena trauma dengan busi yang kedinginan terendam genangan air dan mematikan seluruh onderdil ‘kuda’ku di tengah jalan raya seorang diri beberapa hari lalu saat kau diantar ke rumah sakit. Aku tahu hari saat kau pulang kepada kekasih yang sesungguhnya akan datang, tapi aku hanya bisa memandang gelisah pada derasnya air yang memeluk bumi seperti tali panjang, tipis, dan tajam yang tidak ada putus-putusnya. Betapa saat itu aku sangat berharap ada seseorang yang mau menjemputku dengan kendaraan tertutup atau paling tidak seseorang yang yakin dan meyakinkanku bahwa dirinya benar-benar bersedia dan tidak berat hati mengantarku pulang di tengah godaan hujan yang sedang gencar-gencarnya unjuk diri tanpa aku meminta padanya dengan kendaraan apapun, selambat apapun asal kulitku sampai menyentuh kerut kulitmu. Sempat juga terbersit dalam benakku bahwa aku sangat menginginkan alat yang bisa mentransfer semua perasaanku padamu. Tentu tidak ada alat seperti itu kan, nek? Secanggih apapun Doraemon buatan Jepang pun tak akan mampu mengeluarkan benda ajaib semacam itu dari kantongnya. Aku rasa Tuhan tidak mengizinkan makhluknya sanggup membuat alat semacam itu karena jika ada alat tersebut, pertemuan muka akan semakin jarang, pertemuan langsung terancam musnah dan silaturahmi yang hangat akan hambar. Hari berikutnya, sebuah tugas yang hampir menjadi rutinitasku sejak sebulan lalu menjadi pemberat langkahku untuk pulang. Sebuah rutinitas baru yang belum sempat kuceritakan padamu. Sebuah tugas baru yang mungkin menjadi warna awal dalam titian cita-citaku. Tapi aku merasa begitu tolol karena tanpa sadar aku telah membandingkanmu dengan sekelumit kesibukan yang bisa saja aku batalkan sepihak untuk hari itu. Harusnya aku waras bahwa dirimu tidak sanggup menungguku lebih lama. Hari selanjutnya, di menit setelah malaikat menjemputmu, aku masih belum tahu dan ragaku masih berada di gedung yang pernah kuperkenalkan padamu sebagai tempat belajar tapi belum pernah kau melihatnya. Memegang tiga buah bendel kumpulan beberapa kertas yang harus dikumpulkan di hari yang sama. Hampir 1,5 jam menunggu, urusan tiga bendel itu beres kuserahkan kepada pihak yang berwenang menilai, seberes aku membaca sebuah pesan singkat di menit yang terpaut sangat jauh dari menit kepulanganmu. 180 menit atau mungkin lebih, entahlah...hitunganku tidak akurat dan aku tidak tahu pasti. Yang kutahu, sukmamu telah berada di tempat dan dunia yang berbeda. Sukma yang sedang menunggu raganya untuk segera disatukan dengan tanah. Tidak ada lagi bayangan alat super canggih yang mampu menyampaikan perasaanku padamu atau seseorang bagai Dumbledore yang bisa mengantar Harry Potter ke tempat tujuan dalam sekejap mata dengan satu mantra. Hanya ada serentetan hal yang harus kulakukan sesingkat dan secepat mungkin. Sendiri. Keluar ruangan dan meninggalkan para pembicara penting yang baru beberapa menit lalu diperkenalkan oleh moderator. Satu di antaranya baru saja memulai materi dalam bentuk slide. Kakiku keluar ruangan tanpa banyak permisi dan penjelasan pada orang sekitar. Mengambil beberapa benda yang bisa kupakai dalam perjalanan dan mengegas semaksimal mungkin agar sampai di depan rumah secepat yang aku bisa, sendiri tanpa rombongan apapun. Seperti halnya dirimu yang pergi seorang sendiri ke rumah-Nya.

Sepanjang Jogja sampai rumah kita, aku mengingat jenis lagu apa yang kau suka dan lelaki serta perempuan seperti apa yang kau idamkan untuk menjadi imam dan pendamping bagi keturunanmu. Aku juga ingat bagaimana matamu berbinar melihat jari-jari keriputmu yang tidak lagi berkuku panjang setiap kali selesai kupotong. Sedikit air mata yang coba kutahan bercampur dengan senyum saat kuingat pertengkaran kecil kita, nek. Pertengkaran konyol yang bermula dari keinginanku membeli es ‘thung-thung’ keliling saat kehadiranku di dunia manusia masih di bawah 10 tahun, tapi kau tidak mau memberi uang padaku padahal harga satu porsinya cuma 25 rupiah dan aku terlanjur memanggil pak penjualnya saat itu. Aku jengkel dan menganggapmu orang terpelit sedunia (setidaknya untuk dunia anak-anak). Baru kumengerti sekarang bahwa kau hanya memberi uang pada cucu dan anak-anakmu untuk hal-hal primer, bukan sekunder yang biasanya lebih condong untuk menuruti kepuasaan sesaat. Maaf ya, nek...mana kutahu teori ekonomi semacam itu waktu kecil. Sekalipun sekarang aku sudah tahu, terkadang hal itu masih menjadi masalahku...J. Aku juga ingat kau adalah orang di rumah yang selalu bersedia mendengarkanku bercuap-cuap dan berkata ‘apik’ sefals-falsnya ceritaku. Kemudian, kita bergulir pada cerita masa kecilmu sebelum kemerdekaan yang berujung dengan menyanyikan sepenggal lagu Jepang yang notabene kau dapat saat di bangku sekolah dasar kelas dua. Kelas terakhir yang kau ikuti sebagai pendidikan formal. Pesan-pesanmu masih kuingat dengan baik, meski ada satu pesan yang terpaksa sudah kuterjang karena di masa sekarang, malam membeberkan banyak peristiwa yang tidak bisa kudapatkan di siang hari. Untuk hal ini, aku sudah sempat menjelaskannya padamu, nek. Tidak kau ingat juga tidak apa-apa. J

Kuantar kepulanganmu dengan baju dan jilbab putih, bukan hitam karena aku tidak mau mengiringi hari pentingmu dengan nuansa gelap. Lagi pula kau juga tidak terlalu suka warna hitam. Aku tidak mengiringimu dengan banjir bandang di sekitar mata dan hidungku karena aku tahu kau pergi ke tempat yang lebih nyata, lebih aman. Ke tempat yang lebih bisa menghargai kehadiranmu. Tempat yang lebih jujur untuk jiwa-jiwa yang telah tercipta. Apapun nama tempat yang sekarang sedang kau pijak, aku berharap kau dapat melihatku, kakak, dan orang-orang lain di bumi dengan lebih jelas. Lebih bahagia. Tidak perlu ikut-ikutan sedih jika suatu waktu aku terseok jatuh atau terjerembab dalam kegalauan. Galau juga termasuk dalam segmen kehidupan manusia kan, nek? Jangan khawatir, aku bisa melewatinya dengan baik bersama orang-orang di sekitarku. Kau tidak perlu aneh-aneh menangis di sana...cukup kau kuatkan hatiku saja dengan meminta izin pada-Nya untuk membantuku berdiri lewat cara-Nya yang magis membolak-balik keras lembutnya hati dan tumpul tajamnya pikiran manusia.

Sebagai cucumu yang sering kau omeli dan kau panggil semena-mena, aku tidak pernah tahu tanggal lahirmu. Kuperhatikan...tiap kali ganti KTP, tanggal lahirmu selalu tercetak dengan angka yang berbeda-beda. Mungkin karena memang tidak ada seorang pun yang tahu pasti kelahiranmu. Orang-orang sekitarmujaman dulu tidak mengenal tanggal masehi dan sayangnya, KTP tidak menerima kelahiran dalam wujud penanggalan Jawa. Tapi, kurasa kau tidak pernah ambil pusing dengan penanggalan masehi...buktinya, setiap Jum’at pon kau ribut menyiapkan hidangan ala bancakan yang kemudian kau bagi-bagikan ke anak-anak kecil. Mungkin maksudmu...itu adalah perayaan kelahiranmu, begitu ya, nek? Jika tidak ada seorang pun yang bisa mendokumentasikan kemunculanmu di dunia untuk pertama kali, setidaknya izinkan aku untuk mencatat hari dan tanggal saat kau tempuh perjalanan istimewa ke angkasa bersama ribuan doa yang menjadi sayapmu. Hari saat kau penuhi janjimu kepada Tuhan untuk kembali ke rumah-Nya.


When you can neither call my name loudly nor tell a story clearly...here I keep our photos, our words, our songs.I think...this time, you running to make your new trip like you was born again. Grandma, I let you to fly with your best memories.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun