Embun masih menempel diantara dedaunan teh yang rindang, dan alangkah mesumnya daun itu saat mengigil dipeluk sebutir embun.
Beberapa burung terbang bekicau riang, saat cahaya menyembul di ufuk tertimur bagian bumi, memancar dari ujung-ujungnya, sinari setiap celah-celah gelap bumi ini.
PAGI itu geretan roda terdengar lagi, suaranya begitu akrab ditelingaku. Sampai akupun tak pernah terbangun jika suara itu datang saat aku masih tertidur. Munarti, seorang wanita yang tinggal dibelakang tempat indekosku, jika di hitung, mungkin umurnya masih antara 30-35 tahun tetapi raut muka yang tampak, jauh lebih tua dari umur yang dimilikinya.
***
Awalnya Munarti datang ke tempat ini bersama suaminya yang bekerja sebagai karyawan pabrik Garmen, beserta anaknya yang baru berusia tiga tahun. Bernama Tambun, Kehidupan Munarti berjalan mulus seperti dinamisnya keluarga pada umumnya. Setiap pagi, keseharian Munarti hanya menyiapkan sarapan dan kopi untuk suaminya, setelah itu dia menghabiskan waktu bersama Tambun, menunggu suaminya pulang bekerja.
Selang berapa bulan, ketenangan keluarga Munarti mulai terusik, suasana gaduh mulai terdengar, sesekali terdengar pertengkaran kecil dengan suaminya, entah apa yang menjadi perselisihan, namun perselisihan yang terjadi masih dalam ambang batas kewajaran.
Hingga pada suatu hari, seperti kebiasaanya, setiap jam lima sore dia selalu duduk di depan rumah itu, menggendong Tambun untuk menunggu suaminya datang. Tapi entah apa yang terjadi ?, sampai adzan maghrib berkumandang, yang dia tunggu tak jua muncul.
Tak lama kemudian datang seorang perempuan, nampaknya sudah begitu akrab dengan Munarti, entah siapa perempuan itu, namun dari cara mereka berbicara nampaknya sudah berkawan cukup lama. Waktu berlalu begitu saja termakan obrolan mereka. Sampai sang kawan itu pulang, Munarti masih tetap menunggu sambil sesekali menegok Tambun yang sudah terlelap tidur. Saking lelahnya menunggu Munarti tertidur di sebuah kursi ruang tamu.
Dikeesokan harinya, Munarti masih menyiapkan sarapan, pisang goreng dan segelas kopi. Tak teringat bahwa kemarin sore suaminya tidak datang. Munarti memandangi pisang goreng dan kopi itu, dia tersentak, bahwa suaminya memang tak ada di rumah. Kecemasan mulai tumbuh. Munarti tergesa merapihkan Tambun, untuk mencari suaminya.
Meski kakinya sudah terasa pegal melangkah, pundaknya pun mulai terasa sakit menggendong Tambun. Tetapi tak ada hasil akan pencarianya itu, bahkan kawan suaminya yang sama-sama bekerja di pabrik tidak mengetahui kemana suami Munarti pergi. Hanya saja memang pada hari kemarin suami Munarti ternyata tidak masuk kerja. Informasi itu didapat dari Mandor pabrik tempat suaminya bekerja.
Lelah dengan pencarianya, Munarti memutuskan kembali ke rumahnya, beristirahat menenangkan diri.
Hari berganti hari, suami Munarti tak kunjung datang. Kabar kepergian suami Munarti mulai terdengar dan santer diperbincangakan warga. Sesekali tetangga bergiliran datang mengunjunginya, hanya sekedar menguatkan Munarti menerima semua ini.
Sudah berbulan-bulan waktu berlalu, suami Munarti tak juga pulang, selama itu pula kabar tak jua muncul, dia hilang bak ditelan jaman, tak ada yang tau. Bahkan tak ada bukti yang menunjukan kalau suami Munarti mendapati kecelakaan, beberapa kali pak RT dan Pak Kades datang ke rumah itu, juga tak membawa kabar tentang suaminya, mereka hanya datang memastikan keadaan Munarti dan anaknya.
Semenjak itulah Munarti hidup tanpa suami di rumah belakang tempat indekosku. Tambun yang mulai beranjak gede, kebutuhan dapur yang harus selalu ada. Tapi persediaan tabungan sisa dari harta yang ditinggalkan suaminya telah habis, membuat Munarti menjual beberapa barang-barang berharga yang ada di rumahnya.
***
RODA yang berukuran satu meter kali setengah meter itu, menjadi tumpuan hidup Munarti saat ini, setiap pagi Dia menarik roda yang berisi minuman ringan dan kopi, berjalan sekitar dua Kilo Meter, bersama anaknya menuju tempat berdagang. Hasilnya memang tidak terlalu besar namun cukup untuk memenuhi hajat hidupnya. Sesekali dia sisihkan untuk menabung.
Terhitung dua tahun sudah sejak kepergian suaminya aku bersama Munarti bertetangga, dan selama itu pula, Munarti tak pernah kulihat mengeluh, atau putus asa bahkan senyumnya selalu riang menyapa jika bertemu, Dia begitu giat berdagang, hingga usahanya maju. Tambun pun hidup seperti layaknya anak yang lain tak kurang suatu apapun. Meski dia hanya dibesarkan oleh seorang Munarti. Ibu yang sanggup bangkit dari rasa sakit.
Jika diterka, rasa sakit itu mungkin ada dalam benak Munarti, namun tak pernah mencuat kepermukaan, dia menelan bulat-bulat sendiri rasa sakit itu, hingga wajahnya lebih tua dari umur yang dimilikinya.
Entah dimana suami Munarti ?, entah apa yang ada dalam benak Munarti ?, entah akan seperti apa Tambun pada nantinya ?, aku tak tau pasti.
“Munarti terus berjuang menjadi Ibu sekaligus kepala keluarga dalam keluarganya, Dia tidak menjadikan dirinya seperti Matahari, dimana ketika malam tiba anaknya mengira Matahari itu lenyap, Dia juga tak menjadikan dirinya seperti Bulan, dimana saat pagi menyapa raib tak berbekas. Tetapi Munarti mampu menjelma menjadi sosok Ibu layaknya Seberkas Cahaya, Siang atau Malam Dia datang, akan tetap bermakna, terlebih untuk anak semata wayangnya. “Hidup memang tak semanis yang kita harapkan, tak sepahit yang kita takutkan. Tapi sebijak yang Tuhan Gariskan”.
Penulis : De Sur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H