Malam itu, dua insan mencium wewangian kamar nan damai, biasanya hanya dua bantal dan guling menjulur di atas kasur kamar masing-masing. Tapi malamini, nuansa kamar berubah menjadi serba pink, bahkan kasurnya pun terasa duakali lebih empuk dari biasanya.
Di kanan dan kiri, ada dua lampu redup, serasi dengan riasan kamarnya. Diantara bisiknya gelap malam, dan teduhnya wajah rembulan, sang bintang saling berkejaran, tunjukan siapa yang paling cemerlang diantaranya, bahkan malam sudah bekata lewat bahasa gelapnya, atau dingin dan sunyi suaranya. Tapi kedua insan itu enggan memejamkan mata.
Dilihatnya, disebelah kiri dan kanan masing-masing, mahluk asing yang sangat dikenalnya, meski mengenal hanya sebatas ikatan longgar seorang teman.
“Ram ,,,”, Sahut perempuan yang sudah sejak tadi terpaku disampingnya,
“Iya ,,,”, Rama menjawab dan mendekat.
Diraihnya tangan perempuan itu, lalu diselipkan jari-jarinya, sehingga erat saling berpegangan, perempuan itu tersenyum tanda setuju.
Mata keduanya beradu kata, mau berkengedip takut saling mengecewakan, dan setangkup senyum kembali yang mewakili percakapan keduanya.
“Apa, hanya tangan ini yang bisa kita satukan ,,,?”, Rama berucap ragu, khawatiw salah bekata,
“Aku ,,,”, Perempuan itu tidak melanjutkan kata-katanya,
“Kenapa ,,,?”, Rama terheran,
“Aku ,,, Pengen bilang sesuatu ,,,”, suara perempuan itu mengecil, bersautan dengan bunyi denting jam, jam 00.23, Rama tampak protes, berniat melepaskan genggamannya, perempuan itu merespon, malah semakin erat menggengam balik tangan Rama. Rama mengernyitkan dahinya, tanda dia bertanya.
“Kamu tahu, sampai malam ini aku belum Istikharah tentang calon suamiku ,,,”. Dengan hati-hati perempuan itu berkata. Rama tersentak mendegar kalimat itu, semakin ingin protes, dan perempuan itu semakin bertambah erat menggenggam tangan Rama, untuk kedua kalinya, Rama mengernyitkan dahinya,
“Kalau tidak lewat istikharah, keyakinan apa, yang membuatmu mantap menikah denganku ?”, Tanya Rama penasaran.
“Gelisah, itulah yang membuat aku memilihmu”, Rama masih tak mengerti akan jawaban perempuan yang kini resmi menjadi Isterinya,
“Bukankah, karena gelisah, maka harus Istikharah ?”,
Sejenak perempaun itu terdiam, tanganya semakin erat menggenggam,
“Aku gelisah, lalu takut ,,,, “. Jawab perempuan itu lirih.
“Takut ,,, ?”, Rama mengulangi kata-kata perempuan itu, semakin penasaran, sebenarnya apa yang ingin disampaikan Isterinya itu.
“Iya, aku takut, takut bukan kamu yang hadir dalam mimpiku ”, Jawabnya semakin lirih sambil menundukan wajahnya, Rama hanya tersenyum, kemudian lebih mendekatkan badannya, nyaris satu mili pun tak ada jarak diantara mereka berdua,
“Aku, juga sebanrnya takut ,,, malah lebih takut”, Ucap Rama sambil mengangkat dagu perempuan itu, kali ini giliran perempuan itu yang mengernyitkan dahinya,
“Kamu belum istikharah juga ,,,? Tanya perempuan itu itu antusias,
“Dalam mimpiku, kamulah yang hadir ,,,”
“Kalau gitu, apa yang membuatmu takut ,,,?, tanya perempuan itu, kini dia berniat melepaskan genggaman tangannya, tapi Rama mencegahnya, kembali perempuan itu mengernyitkan dahinya.
“Aku takut, malah lebih takut, takut bukan kamu yang hadir dalam kenyataannya”, Ucap Rama, sambil menjawil hidung perempuan itu,
“Sakit ,,, tau ,,,!, Perempuan itu protes,
“Sakit ,,, ya, kasih aku kesempatan untuk mengobati sakitnya”, balas Rama dengan sebuah tatapan yakin dan halus, perempuan itu menggangguk satu paket dengan senyum sepakatnya.
Dan ….
SEKIAN
Oleh : Dede Suryana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H