Siapa sih yang nggak kenal tempe? Dari sabang sampai merauke orang mengenal jenis makanan ini. Dari tempe goreng biasa, mendoan, orek tempe, kering tempe, keripik tempe steak tempe, sampai brownis tempe atau cuma sekedar ongseng tempe Lombok ijo cukup membuat saya ngiler. Istilahnya kata saya itu tempeker he..he..he..atau tempemania alias penggemar tempe.
Saya pernah punya teman kos orang Padang, dia bilang gini, orang jawa itu khan identik dengan makanan tempe, setiap makan kok katanya nggak bakal ketinggalan lauk tempe. Awalnya dia nggak percaya tapi begitu kenal saya dia bilang ternyata bener, gila makan kok dikit dikit tempe. Beli pecel lele aja lelenya diganti tempe. Wakakka..itu mah ngirit sahutku.
Kembali ke masalah tempe, sebagai tempeker saat pindah ke Jakarta saya sempat merasakan kok beda ya rasanya tempe dikampung saya sama tempe dijakarta. Kalau dikampung saya dulu ada penjual tempe yang cukup melegenda namanya Nur, kata Ibu saya awalnya dulu dia jualan  ke pasarnya dengan dokar. Belum turun dari dokarnya orang sudah antri untuk membeli tempenya. Dan memang sampai saya meninggalkan kampung saya tempe punya Nur begitu saya gemari. Teksturnya yang lembut tidak berbau kecut, digoreng biasa dengan bumbu garam dan bawang putihpun enak sekali, apalagi bila disayur lodeh, walah, semua aja lewat. Beda sekali ama tempe di Jakarta yang kalau digoreng kedelainya masih kelihatan mendelik belum ada bau bau kecut kecut gimana gitu.
Nah kalau dikampung dulu namanya tempe itu ya dibungkus daun nggak ada yang dibungkus plastik, walaupun seiring waktu dikampungpun tempe bungkus plastic sudah mulai menjamur. Dalam pikiran kita tempe bungkus daun itu pasti lebih sehat dibandingkan tempe bungkus plastic karena lebih alami tentunya. Sebenarnya tempe itu makanan yang paling hieginis lo soalnya pembuatannya harus benar benar bersih kalau misalnya tidak bersih maka jamur di kedelainya tidak akan tumbuh dan akan menyebabkan tempe busuk atau berbau asem atau kecut. Dan bagi para pengrajin tempe tradisonal mereka menularkan jamur tempe dengan daun bekas bungkus tempenya tidak dengan obat.
Kalau kita bertanya bagusan mana tempe bungkus daun sama tempe bungkus plastic. Jawabannya mudah sekali ya pastinya tempe bungkus daunlah.Lebih alami. Lagian plastic plastic yang digunakan untuk membungkus tempe itu khan sebenarnya tidak diperuntukan untuk makanan. Masalahnya tidak berhenti sampai disitu. Ternyata usut punya usut menurut tetangga saya yang penjual tempe juga menurut beberapa penjual sayur keliling yang saya kenal ternyata tempe bungkus daun yang banyak beredar dipasaran itu sebenarnya saat pembuatan ya dibungkus plastic juga hanya pagi harinya para pengrajin tempe ini kemudian membuka plastiknya dan mengganti dengan daun pisang dengan alasannya tempe bungkus daun lebih digemari. Biasanya tempe bungkus daun lebih mahal sekitar seribu rupiah dibanding tempe bungkus plastic. Tapi tidak semua begitu.untuk tempe yang dibungkus kecil kecil biasanya asli dari awal dibungkus daun nah yang suka direkayasa tempe yang berbentuk kotak besar atau lonjoran. Bandingkan saja daun pembungkus tempe itu kebanyakan masih segar dan hijau. Padahal kalau dilogika daun pisang akan kelihatan layu kalau sudah dipakai dari sore hari. Jadi ternyata nggak ada bedanya bungkus plastic atau daun, malah yang bungkus daun masih terkontaminasi tangan lagi saat penggantian bungkus plastic ke bungkus daun. Walaupun mungkin tidak semua ya.
Tempe sekarang juga kebanyakan memakai kedelai import, karena konon katanya kalau memakai kedelai lokal disamping harganya mahal hasil juga tidak apa ya kalau bahasa jawanya itu Babar yaitu kalau sekilo tempe dengan kedelai import akan bisa jadi lebih banyak daripada tempe kedelai local, katanya lagi kedelai local lebih sukar diolah. Jadi tidak heran kalau harga tempe itu mengikuti harga dolar dan juga mengikuti perkembangan dunia. Contohnya kemarin sempat terjadi rush (he..he..he…bahasanya) dikarenakan terjadi banjir besar di china menyebabkan pasokan kedelai di Indonesia turun akibatnya harga kedelai naik dan pengrajin tempepun memilih mengurangi produksinya. Akibatnya harga tempe dipasaranpun mengalami kenaikan. Nah kalau sudah begini bagaimanakah nasib saya sebagai tempeker…..??? Makan tanpa tempe….? Oh..No……
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H