Mohon tunggu...
Deepthroat United
Deepthroat United Mohon Tunggu... -

Awareness-oriented

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Counter-Terrorism, Dua Tahun Era Post-Osama Bin Laden

1 Mei 2013   00:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:20 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari ini, 1 Mei 2013, tepat 2 (dua) tahun dimana dunia memasuki era setelah Osama bin Laden (post-osama era). Tidak ada seorangpun yang menyangka, bahwa di tengah-tengah isu peringatan hari buruh internasional (may day) yang jatuh di tanggal serupa, serta maraknya isu mengenai keabsahan akta kelahiran Obama yang digaungkan oleh pengusaha ternama AS sekaligus simpatisan Partai Republik, Donald Trump, ternyata secara rahasia sedang berlangsung operasi perburuan sosok yang selama satu dekade terakhir menjadi musuh nomor satu rakyat AS, yakni Osama bin Laden. Tanggal 1 Mei 2011, pasukan khusus AS Navy SEALs melakukan penyerangan ke sebuah kompleks di Abbotabad, Pakistan setelah melakukan perburuan (manhunt) selama satu dekade terakhir. Selama itu pula badan-badan intelijen AS, baik CIA (Central Intelligence Agency), FBI (Federal Bureau of Investigation), DIA (Defense Intelligence Agency) menemui kesulitan dalam menemukan musuh nomor satu AS yang diyakini bertanggungjawab atas serangan terhadap menara kembar WTC pada 11 September 2001 di New York, AS. Dalam serangan yang dilancarkan secara rahasia tersebut pada akhirnya Osama sebagai target utama (primary target) berhasil ditembak mati oleh pasukan khusus tersebut diikuti dengan penyitaan berbagai dokumen-dokumen dan harddisk-harddisk komputer yang didapat di kediaman Osama. Setelah dilakukan konfirmasi bahwa jenazah tersebut merupakan jenazah Osama bin Laden, salah satunya melalui pencocokan DNA dengan database FBI di AS, jenazah Osama akhirnya dibawa dengan helicopter Blackhawk ke pangkalan militer AS untuk kemudian dibawa ke kapal induk AS, USS Carl Vinson, untuk dikebumikan dengan cara ditenggelamkan ke laut, tentunya dengan prosesi yang sangat dirahasiakan.

Sebagai visualiasi, film Zero Dark Thirty karya Kathryn Bigelow dapat menjadi salah satu rujukan walaupun pada kenyataannya operasi Neptune Spear (codename operasi perburuan Osama bin Laden) tidaklah sesederhana yang ditampilkan di film yang dibintangi oleh Jessica Chastain tersebut. Namun demikian, intisari dari film Hollywood yang juga masuk nominasi Piala Oscar 2012 tersebut tetap dapat mengantarkan penonton, baik kalangan awam maupun pemerhati intelijen dan isu terorisme mengenai gambaran akan bagaimana pengejaran Osama bin Laden dilakukan. Dimulai dari awal proses perburuan, teknik interogasi teroris dan terduga teroris, peristiwa-peristiwa pemboman di berbagai negara, teknik pelacakan kurir kepercayaan Osama bin Laden, pemantauan tempat persembunyian Osama (safe heaven), kompleksitas birokrasi di komunitas intelijen AS beserta tarik ulurnya, hingga mencapai titik klimaks dengan ditembaknya Osama bin Laden oleh pasukan khusus AS di Pakistan.

[caption id="attachment_258265" align="aligncenter" width="161" caption="Poster film (2012)"]    

13673713101454071461
13673713101454071461
[/caption]

Tewasnya Osama seolah menjadi babak baru (new chapter) atas berakhirnya suatu simbol perlawanan terhadap AS yang termanifestasikan dalam bentuk aksi terorisme. Namun, dua tahun berlalu pasca tewasnya Osama, bagaimana dengan perjalanan perang melawan terorisme, baik dalam konteks kacamata AS, ataupun dilihat secara global? Tidaklah dapat dikatakan bahwa perang melawan terorisme telah berakhir. Tidak dapat dipungkiri bahwa tewasnya Osama menjadi pukulan yang teramat telak (ultimate blow) bagi jejaring teroris yang selama ini berada di balik kendali Osama, bahkan dalam skala global sekalipun. Krisis dan kekosongan kepemimpinan dalam jejaring Al-Qaeda sepeninggal Osama Bin Laden pun mengemuka sebelum akhirnya tokoh Al-Qaeda nomor dua yang bernama Ayman Al-Zawahiri menggantikan Osama sebagai pimpinan Al-Qaeda, sehari setelah Osama tewas. Namun, perang melawan terorisme bagaikan menjadi pertempuran yang tidak pernah berakhir (neverending battle).

Tragedi pengeboman Boston Marathon dapat menjadi contoh yang paling aktual mengenai pukulan telak pada AS, khususnya badan-badan intelijennya yang selama ini berupaya sangat keras memerangi terorisme dan radikalisme serta berupaya melakukan pencegahan terhadap segala bentuk serangan, baik serangan secara langsung ataupun secara tidak langsung yang ditargetkan terhadap AS. Jelas kiranya bahwa pengeboman Boston Marathon seolah menghentak dunia bahwa: (1) perang melawan terorisme dan radikalisme tidaklah dapat dikatakan benar-benar usai; (2) badan-badan intelijen sekaliber FBI, CIA, dan badan-badan lainnya yang tergabung di dalam komunitas intelijen AS (US Intelligence Community) pun juga dapat dikatakan masih dapat juga kecolongan, atau dapat disebut juga sebagai kegagalan intelijen (intelligence failure). Besarnya dana yang digelontorkan guna memerangi terorisme pun dipertanyakan oleh banyak pihak pasca tragedi yang telah merenggut 3 korban jiwa beserta ratusan korban luka-luka tersebut. Tidak dapat disangkal lagi, warga AS seolah kembali berada dalam ketakutan seperti saat terjadinya tragedi 9/11 lalu. Dalam hal ini, terlepas dari berbagai teori konspirasi, asumsi, dan dugaan-dugaan yang mengiringi investigasi pemboman Boston tersebut, intelijen AS seolah kembali dipacu serta diakselerasi di tengah-tengah sorotan dan harapan publik AS untuk dapat mengungkap secara tuntas mengenai apa yang sebenarnya terjadi dan latar belakang terjadinya tragedi di Boston.

Isu mengenai kerjasama antar badan intelijen AS beserta pembagian informasi intelijen (intelligence sharing) juga menjadi isu utama dalam mengukur efektivitas dari kinerja komunitas intelijen AS, termasuk hubungan antara FBI dengan CIA, dan bahkan dari intelijen Rusia. Sebagaimana diketahui, pelaku pemboman Boston Marathon tersebut dilakukan oleh dua orang remaja asal Chechnya yang berkewarganegaraan AS, yaitu Tamerlan Tsarnaev dan Dzhokhar Tsarnaev. Keduanya diindikasi kuat menjadi korban cuci otak dari golongan radikal. Posisi Rusia dalam kasus ini juga menjadi penting mengingat badan intelijen Rusia lah yang pada awalnya mendeteksi adanya radikalisme, walaupun pada awalnya FBI tidak menganggap serius ancaman tersebut dengan membiarkan dua bersaudara tersebut lepas dari pantauan intelijen AS. Namun pada perkembangan terakhir, diketahui bahwa pihak FBI telah mendapatkan bukti awal yang dikirimkan oleh intelijen Rusia, yaitu hasil sadapan percakapan telepon bernuansa radikal antara Tamerlan dengan ibunya pada tahun 2011. Bagaimanapun juga, pemboman telah terjadi dan ini memberikan dampak sangat nyata bagi stabilitas keamanan nasional AS, sekaligus sebagai indikator teraktual bahwa perang melawan teror dan radikalisme tidaklah usai dengan tewasnya Osama bin Laden tepat pada dua tahun lalu.

Guna lebih memaksimalkan peran intelijen dan memaksimalkan segala sumber daya yang ada guna mendeteksi berbagai macam ancaman dan potensinya, maka disadari bahwa ancaman di masa mendatang akan semakin kompleks dan sangat sulit untuk diduga, termasuk bagi AS. Terlebih lagi, serangan terhadap keamanan nasional juga mempergunakan teknologi informasi sehingga konsep cyber security menjadi perlu guna ditingkatkan secara signifikan. Berdasarkan informasi dari situs berita Russian Today per 29 April 2013, saat ini di AS telah terdapat pembahasan mengenai undang-undang yang diprakarsai oleh FBI dimana terhadap kewajiban bagi perusahaan-perusahaan teknologi terkemuka di AS seperti Google, Facebook, untuk dapat lebih memfasilitasi badan-badan intelijen AS seperti halnya FBI guna memata-matai warga negaranya yang dianggap sebagai ancaman, dalam bentuk penyadapan, intersepsi, dan metode pengawasan lainnya sesuai permintaan FBI. Kegagalan untuk mematuhi aturan ini akan berdampak pada besarnya denda yang harus ditanggung oleh perusahaan tersebut apabila dalam jangka waktu 90 hari tuntutan tersebut tidak dapat dipenuhi, dimana dendanya akan berlipat ganda setiap hari selama belum dipenuhinya ketentuan tersebut.

Pembahasan mengenai aturan CISPA (Cyber Intelligence Sharing and Protect Act) yang akan difungsikan untuk mengatur pembagian informasi intelijen dalam ranah internet juga menjadi langkah terbaru sekaligus kontroversial dalam usaha otoritas AS guna memantau komunikasi warga negaranya secara online. Pengaturan ini dirasakan perlu oleh badan-badan intelijen AS yang seolah makin kewalahan untuk mengawasi warga negaranya. Hal ini sangat bisa dipahami mengingat penggunaan internet makin merambah segala lapisan masyarakat, termasuk warga AS, dan kecenderungan ini berdampak pada makin banyaknya target, potensi ancaman, bahkan percakapan yang harus selalu dimonitor oleh badan-badan intelijen AS setiap saat, bahkan secara real-time, selayaknya karakteristik dari internet itu sendiri. Namun, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, penguatan kapasitas intelijen dengan cara demikian tidak pelak menimbulkan kontroversi, khususnya berkaitan dengan persoalan privasi yang seolah menjadi hak dasar dari pengguna internet. Suatu titik kompromi dalam hal ini harus segera ditemukan, termasuk dalam melakukan pelacakan terhadap potensi serangan-serangan yang dilakukan oleh teroris beserta segala eskalasinya.

Penunjukkan John Brennan sebagai Direktur CIA yang sebelumnya menjabat sebagai penasihat kontra-terorisme Gedung Putih, untuk menggantikan Leon Panetta seolah menunjukkan bahwa AS tetap menaruh perhatian yang sangat serius dalam upaya pemberantasan terorisme global. John Brennan merupakan figur yang sangat berpengaruh dalam lingkungan komunitas intelijen AS serta dikenal sebagai arsitek program drone (pesawat tanpa awak) yang selama ini dilakukan AS dalam mendukung program kontra-terorisme, khususnya di negara-negara yang menjadi tempat persembunyian teroris, misalnya Afghanistan ataupun Pakistan. Sejalan dengan perkembangannya, penunjukkan Brennan untuk mengepalai Langley sempat diwarnai beragam protes keras khususnya dari para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di AS, yang mengecam penggunaan pesawat tanpa awak serta pelanggaran terhadap hak-hak sipil yang menjadi target drone tersebut. Apapun dinamikanya, dengan secara resmi Brennan mengepalai CIA maka semakin mengukuhkan misi utama CIA guna menempatkan kontra-terorisme sebagai agenda utamanya, dan juga sebagai bagian dari strategi keamanan nasional AS.

[caption id="attachment_258266" align="aligncenter" width="300" caption="Penunjukan Brennan oleh Obama (7 Januari 2013)"]

13673714821389505741
13673714821389505741
[/caption]

Pada hakikatnya, selama suatu negara berdiri dan memiliki kepentingan nasional, selama itu pula negara tersebut akan menghadapi ancaman (threat) dengan segala dinamikanya. Di era teknologi informasi dengan perkembangannya yang super cepat, tidak dapat dihindari lagi akan ancaman yang dapat timbul di kemudian hari tanpa dapat diduga sebelumnya. Osama bin Laden sebagai simbol terorisme yang selalu melawan kepentingan AS memang bukanlah seseorang yang mengandalkan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi dalam mengendalikan jejaring terorisnya (terrorist network), namun lebih memilih untuk beroperasi secara bawah tanah atau clandestine sehingga teramat menyulitkan untuk dideteksi oleh badan-badan intelijen AS yang sebelumnya lebih mengutamakan penggunaan teknologi, baik melalui penyadapan ataupun pengamatan dari satelit dan juga penggunaan pesawat tanpa awak. Hal ini kemudian memacu intelijen AS untuk kemudian lebih banyak menggunakan source intelijen yang berasal dari manusia atau agen intelijennya (human intelligence/humint). Dengan kata lain, terdapat peningkatan kinerja intelijen yang dilakukan secara simultan, baik penggunaan manusia dan juga pemanfaatan teknologi.

Sekali lagi, perang melawan teror (war against terror) merupakan pekerjaan yang tidak pernah usai. Kejadian demi kejadian yang telah terjadi, khususnya di Boston, semakin membuka mata bahwa potensi ancaman dapat terjadi kapan saja, dimana saja, dan oleh siapa saja, pasca tewasnya Osama. Oleh karena itu, penguatan kapasitas intelijen menjadi suatu hal yang mutlak dilakukan. Memang benar bahwa aksi terorisme tidaklah mungkin dapat dihilangkan menjadi nol sama sekali, namun setidaknya berbagai bentuk terorisme dan radikalisme yang mengiringinya haruslah dapat diminimalkan sehingga makin tidak memiliki ruang gerak. Haruslah terdapat upaya terpadu dan berkesinambungan guna menetralisir berbagai aksi terorisme, baik dari aspek intelijen, ideologi, regulasi, penindakan, hard power, soft power, edukasi, dan lain sebagainya. Kewaspadaan (awareness) akan bahaya aksi terorisme semacam inilah yang harus menjadi penggerak utama dalam konteks kontra-terorisme (counter-terrorism), khususnya di era pasca Osama bin Laden.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun