Saya tidak dapat menjelaskan mengapa lelaki inilah yang jadi pengecualian. Membuat saya hilang kuasa untuk berkata tidak. Tak mampu mengelak dari permintaan, apapun itu, yang biasanya selalu berakhir penolakan untuk semua orang kecuali permintaan itu, darinya.
Saya tidak dapat menjelaskan mengapa saya dapat segugup itu. Saya bahkan selalu menata senyum, merapikan pakaian, rambut, melatih lirikan bahkan langkah kaki, berharap ia jatuh hati hingga terbawa mimpi. Meski pada akhirnya ialah yang membuat saya lupa diri pada gravitasi, melalui tujuh lapis langit bahkan tinggi, tinggi, lebih tinggi lagi, ketika mata, telinga, hidung, semua saraf pada diri mengindera kehadirannya di sisi.
Saya tidak dapat menjelaskan mengapa saya selalu melisankan namanya ketika hati ini, yang katanya lugu, menggelinding tanpa arah melaju, menuju ke sebuah tempat yang rawan untuk saya yang rapuh, yang katanya dapat menghancurkan saya. Saya tak dapat menjelaskan mengapa saya selalu merasa aman bersamanya.
Saya tidak dapat menjelaskan pula kenapa saya rela lumpuh. Tidak apa-apa untuk tidak dapat melakukan hal lebih baik darinya, menjadi seseorang yang bergantung padanya, dan rela menjadi kalah asal yang saya tahu lelaki inilah yang ada di posisi satu.
Saya pun tak dapat menjelaskan mengapa nyatanya, di kemudian hari saya menemukan diri saya lah yang merana. Mengapa? Bukankah ini anugerah, mengapa saya jengah, mengapa ingin marah?
Saya hanya dapat menjelaskan bahwa inilah saya. Saya yang tidak mau mengerti, saya yang ternyata memang jatuh cinta padanya ini, mendapati bahwa kami berdiri pada dua sisi koin yang berbeda.
Saya kepala. Ia ekor. Meski satu....kami jauh.
Jauh sekali.
#Untukmu. Yang meski suatu hari kamu tahu, kau tetaplah jauh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H