Dibalik kisah Alhamdulillah. Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan pesan singkat dari salah satu sahabat saya, namanya wahyu. Beliau berkecimpung dalam dunia kepenulisan dan bisa dikatakan senior saya dalam dunia tersebut. "....Cie, mbak. Cerpennya menang...." Begitu kira-kira isinya. Saya termangu beberapa saat. Membaca berulang pesan itu dan memikirkannya kembali. Karena dalam hal ini saya tidak merasa mengikuti kompetisi apa-apa. Lantas saya kembali bertanya kepada beliau. Usut punya usut (setelah diberikan kontak untuk mendapatkan informasi), salah satu cerpen saya yang pernah dipublikasikan  di koran Ogan Ilir ekspres yaitu "Tanggal sembilan bulan sembilan" ternyata dikirim oleh wahyu (karena permintaan dari balai bahasa untuk mengumpulkan cerpen di media cetak se sumsel). Cerpen ini ikut serta untuk dinilai di balai bahasa sumsel guna menyambut bulan bahasa 2014 yang jatuh agustus lalu. Sebentuk pemberian apresiasi sastra di media cetak, dan alhamdulillah, cerpen saya tersebut meraih posisi terbaik II se-Sumatera Selatan. Tentang tanggal sembilan bulan sembilan. Cerpen ini saya buat desember 2013 di kota Lahat. Berkisah tentang seorang pria baya kaya bernama Tris yang merasa kesepian dan tak menyukai tanggal sembilan bulan sembilan, tanggal lahirnya sendiri. Ia pun menemui seorang psikolog bernama Bening dan meminta menyelesaikan masalah yang dihadapinya ini. Awalnya, kisah tanggal sembilan bulan sembilan tidak beralur demikian. Apa yang telah dipublikasikan ini adalah revisi. Versi aslinya pernah saya posting di kompasiana, versi "curhat"nya, kata saya. Alurnya jauh lebih menggantung kala itu. Hal ini dibuat karena saya (saat itu) ingin membaca komentar dan reaksi sesama teman penulis, menemukan bagaimana  penyelesaian masalah yang dihadapi tokoh utama ini. Ini tentang saya. Tanggal sembilan bulan sembilan adalah tanggal lahir saya. Apa yang Tokoh utama saya (Tris) rasakan pernah saya alami sebelumnya. Kesepian, tak memiliki apa-apa, merasa kehilangan, dan keinginan untuk memotong cake di hadapan orang-orang terkasih yang seakan semacam mimpi itu adalah momok yang selalu saya hadapi setiap tahunnya. Berbedanya saya masih memiliki keluarga, namun dalam hal ini kami terpisah karena setiap anggota memiliki kegiatan masing-masing dan sibuk sendiri-sendiri saat itu. Saya tidak memiliki keberanian membangun hubungan dengan orang lain karena ketakutan akan ditinggalkan. Jadi saya jarang sekali merasakan ulang tahun, mendapat kado, bahkan ucapan selamat sekalipun. Saya terus mencari-cari makna bahagia di balik tanggal kelahiran saya itu. Pada akhirnya saya menuangkan rasa ini pula dalam tulisan, sama seperti Tris. Dan siapa sangka bahwa komentar pembaca-pembaca saya di kompasiana saat itu menjadi penyelesaian baik untuk Tris, maupun diri saya sendiri. Happiness-is-sharing. Dan seperti apa yang disampaikan oleh Leonard Nimoy tentang The more we share, the more we have. Bahwa berbagi, itulah jawabannya. Masih harus banyak belajar. Hari ini, tanggal 8 September 2014 saya menghadiri acara apresiasi sastra yang diadakan balai bahasa Sumatera Selatan. Ditemani sahabat saya, Sari, kami menuju ke sana. Pukul 07.00 WIB bertempat di ruang pertemuan Balai Bahasa sumsel lantai dua, Saya bertemu dengan penulis-penulis berbakat dan para pelaku dunia jurnalistik. Sambutannya begitu hangat dan bersahabat. Menyenangkan sekali. Pada akhirnya, Bahagia dan haru menyelimuti hari saya, mungkin hingga menjelang detik-detik tanggal sembilan bulan sembilan yang sesungguhnya. Besok.
"Menulislah bukan untuk siapa-siapa. Menulislah, untuk dirimu sendiri." #Dee Hwang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H