Mohon tunggu...
Ahmad Defriandi
Ahmad Defriandi Mohon Tunggu... -

books, literature, journals, think, write, connecting, quick, laughter, love.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

12/12/2012 dalam Kerangka Nilai dan Paradigma

18 Maret 2011   19:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:39 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saya jadi ingat pada tanggal 09/09/1999 dulu dan saya tunggu detik demi detik sampai pukul 09:00 – nya sambil mengabaikan sesuatu yang melintas di benak saya kala itu bahwa di belahan bumi yang lain bahkan sudah melewati pukul 09:00 itu. Langit tetap saja di atas, guru-guru masih juga nagih PR-PR saya, dan yang lebih penting lagi uang jajan tetap segitu-segitu aja gak ada perobahan berhubung hari akhir, singkatnya pada tanggal tersebut secara umum persis sekali dengan satu hari sebelumnya tanggal 08/09/1999, tambah pukul 09:00 biar lebih lengkap, kalau perlu yang baru ini ditambahkan juga pukul 12:00 supaya makin dramatis.

Tidak heran kalau kata saya, karena di masyarakat kita atau mungkin dunia kedua angka itu memang memiliki nilai magis (magic, bernilai mistis) sembilan dan dua belas konon masih ada lagi angka magis lainnya dalam dunia perbintangan yakni angka 13 dan angka kembar seperti tanggal 11 dan 22, kalau bukan karena kita magis-magiskan artinya begini bagi kita yang meyakini atau tidak, kemana-mana kita ini membawa nilai-nilai yang kita anut dan nilai-nilai kita itulah yang mampu menggerakkan pikiran kemudian tindakan kita (ini sama sekali bukan reliji) dan setiap orang adalah individu yang unik karena itu nilai yang mereka pegang tidak semuanya persis atau sama, begitu setidaknya yang bisa saya simpulkan dari tulisan Kenneth Majer dalam bukunya Values – based leadership. Dikatakan bahwa nilai-nilai kita lah yang mampu menggerakkan kita Kenneth mengilustrasikan seperti ini, banyak CEO perusahaan yang pusing karena para karyawannya tidak bekerja sesuai dengan nilai-nilai yang sudah ditetapkan perusahaan masing-masing seperti : dedikasi, loyalitas, integritas, kejujuran, tanggung jawab dan lain sebagainya. Terkadang manajemen terlalu egosentris dalam merumuskan nilai-nilai perusahaan tanpa melibatkan segenap karyawannya kemudian ditempel di dinding-dinding tangga, lift, belakang meja tetapi selalu saja lewat dari perhatian karyawannya. Karena itu bukan nilai–nilai karyawannya barangkali melainkan milik CEO-nya. Sederhananya seperti ini dengan melibatkan seluruh karyawan, maka makna nilai integritas akan menjadi lebih luas lagi dan mereka senantiasa akan menerapkan nilai integritas tersebut setiap saat mereka bekerja karena mereka terlibat, mereka ikut mendefinisikan, itu nilai mereka dan baru setelah itu mereka akan memandang bingkai-bingkai yang berisi nilai-nilai perusahaan tersebut dengan hormat yang baru.

Kemudian bagaimana dengan paradigma (cara pandang), dari banyak cerita tentang paradigma saya lebih menyukai penjelasan milik Steven Covey dalam Seven habit – nya karena begitu gampang dimengerti bagi saya. Hemat saya paradigma itu adalah mindset yang sudah terlanjur jadi milik kita yang dapat terbentuk dari pengalaman-pengalaman hidup yang kita maknai, cerita-cerita yang kita dengar atau  peristiwa-peristiwa yang kita saksikan sehingga membentuk pola pikir dan sikap kita terhadap sesuatu yang lainnya setelah itu. Paradigma bisa dirubah, disesuaikan kalau ternyata tidak relevan atau sama sekali salah, kalau boleh saya pinjam istilah Steven Covey hal ini disebut Pergeseran Paradigma (rubah cara pandang). Ada ilustrasi singkat beliau yang gampang untuk dimengerti tentang pergeseran paradigma :

Ada sekelompok remaja yang saling bersahabat, salah satu dari anggota mereka sebutlah Jim tiba-tiba perilakunya tidak seperti biasa, dia lebih banyak diam, kurang ramah dan pemurung, sehingga salah satu teman sekelompoknya yang lain sebutlah Lisa menjadi risih dengan sikap Jim pokoknya sebel sama cara Jim belakangan ini, ia jadi ikut-ikutan seperti itu terhadap Jim, tidak menggubris Jim bahkan pelan-pelan melupakannya sampai akhirnya Jim pindah kota dan kontak menjadi sama sekali tidak ada. Selang beberapa waktu Lisa menerima telepon dari salah seorang sahabatnya yang lain dan bercerita seperti ini “ehh.. kamu tau gak kalo orang tua Jim bercerai ?”, Lisa tiba-tiba terdiam, nelangsa bahkan timbul perasaan bersalah terhadap Jim karena merasa telah meninggalkannya disaat dia butuh dukungan, pandangan Lisa terhadap Jim tiba-tiba berubah setelah dia mengetahui semua faktanya.

Kurang jelas ? ada satu lagi nih…

Suatu hari seorang wanita sedang duduk di bangku menunggu penerbangannya, sambil membaca koran, tiba-tiba ada seorang pria yang mengambil tempat duduk persis di sebelahnya kemudian wanita itu mengambil kue kering yang ada disebelahnya lalu memakannya, tiba-tiba wanita itu terkejut ketika pria tersebut ikut-ikutan mengambil dan memakan kuenya, wanita tadi tetap berusaha sabar sambil terus menikmati bacaannya dan ketika wanita tadi mengambil kembali kuenya, si laki-laki itu masih juga ikut-ikutan memakan kue nya, “ihh.. ga tau malu” pikir wanita itu, kejadian terus berlangsung dan ketika sampai pada satu kue yang terakhir laki-laki itu duluan mengambil kuenya kemudian memotongnya menjadi dua bagian dan memberikan potongan satunya kepada wanita itu, sekarang benar-benar merah padam wajah wanita tersebut tetapi dia tetap bersabar. Setelah panggilan penerbangan diumumkan wanita tadi langsung bergegas dan memasukkan koran ke dalam tasnya, namun begitu terkejutnya dia ketika mendapati kue miliknya masih utuh di dalam tasnya, jadi yang dari tadi ia makan adalah kue pria itu, bahkan pria itu begitu baik sampai-sampai membagi dua kuenya yang terakhir dan diberikannya kepada wanita itu. Bayangkan sekarang yang ada di pikiran si wanita “ihh.. malu-maluin”.

Apa yang bisa kita simpulkan dari kedua cerita di atas ? tepat, paradigma itu bisa berbahaya kalau tidak lengkap, ia bisa membuang hubungan-hubungan yang berharga dan menutup peluang-peluang baru. Lalu apa kemudian yang terjadi pada akhir kedua cerita tersebut ? benar, Pergeseran Paradigma, paradigma kita seringkali keliru, tidak lengkap dan kacau, itulah alasan kenapa kita harus merubahnya.

Kembali kepada topik kita 12/12/2012, nilai dan paradigma kita masing-masinglah yang dapat memberikan ruh kepada cerita itu, bukankah itu sudah pernah ada pendahulunya 09/09/1999. Kalau kita berpikiran rasional (dengan perbandingan), logis serta kritis analitis maka akan banyak bermunculan ide dari benak kita, misalkan segala yang ber-Tuhan akan mengimani adanya hari akhir, namun itu prerogative-Nya karena pemikiran kita tidak akan pernah sampai pada penetapan tanggal pastinya, kita harus menyadari batas pemikiran kita terhadap hal-hal yang kepastiannya hanya dikuasai Tuhan, sehingga nilai dan paradigma kita tidak akan pernah memastikan hal tersebut, semua memiliki titik kulminasi, batasan jenuh, batasan puncaknya, bahkan saya tidak akan pernah berani mengatakan bahwa warna langit itu adalah biru karena itu hanyalah batas kemampuan jarak pandang mata saya, kalau saya tonton film-film tentang luar angkasa bukankah begitu banyak benda-benda bertebaran di luar sana, planet-planet, meteor, galaksi lain dan itu tidak terlihat oleh mata telanjang saya kecuali warna biru, kalau paradigma dan nilai saya yang sempit memastikan bahwa warna langit adalah biru sesuai batas jarak pandang mata saya dan saya yakini, maka paradigma dan nilai saya itu akan menutup milyaran kemungkinan yang ada di luar angkasa sana, sayang sekali bukan.

Lalu sekarang bagaimana ?, bijaknya seperti ini “kita harus mengambil hikmah dari setiap kejadian”, jadikan ini semacam warning bahwa bumi ini sudah tua, rapuh. Rubahlah cara kita mengeksplorasinya, jangan pandang sebelah mata terhadap mereka yang mengangkat isu-isu pemanasan global melainkan dukung solusinya, intinya ini sesuatu yang mengingatkan, akan hal apa ? biarkan pikiran masing-masing kita yang bebas menginterpretasi ini bagi diri kita sendiri-sendiri, diri kita yang unik ini. Saya jadi ingat perkataan dosen saya dulu “sifat manusia itu alpa karena itu dia harus senantiasa diingatkan” kemudian saya nyeletuk ”maksudnya bu ?” sambil melotot ke arah saya beliau jawab “lupa !!”. Akan tetapi dari semuanya itu kita juga tidak boleh sama sekali mengesampingkan tentang kemungkinan adanya sebuah petunjuk yang bisa saja tersirat atau dengan kata lain kumpulkan dulu faktanya tanpa mengkotomi keniscayaan realitas dengan khaliqnya.

Depok, 15 November 2009 – 03:34 by deef

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun