Via Ferrata.
What the hell is via ferrata? Ketika diajakin ikutan Via Ferrata sama geng travel addict di tahun 2015, saya enggak tau sama sekali apa itu via ferrata. Pokoknya siapapun yang ngajakin jalan2, kalau saya lagi mood dan imut, selama jadwal enggak bentrokan dengan business trip kantor atau trip jalan2 lainnya, dan selama lagi ada duit, kenapa tidak? Jadi ketika diajak, saya langsung browsing and whoaaaaaa, ternyata panjat tebing boooo! Keren banget. Saya udah pernah Sky Diving dan Bungy Jumping, tapi belum pernah Rock Climbing alias Panjat Tebing. I mean, kalau panjat tebing ala2 di acara2 team building kantor yang tingginya cuma 2 meter doang mah, udah sering, tapi panjat tebing beneran di gunung beneran, ya belum pernah. Â
Then again, apa sih sebenernya Via Ferrata itu ?
Via Ferrata itu adalah kegiatan panjat tebing dengan menaiki tangga besi yang di cor dan di tancapkan ke tebing dan berpegangan dengan kawat baja yang di ikatkan sepanjang jalur memanjat, yang juga dilengkapi dengan alat pengaman khusus yang dipandu oleh pemanjat tebing professional.Â
Di Indonesia operator yang baru mengadakan kegiatan ber licence ini rasanya baru Sky Walker, yang di miliki oleh seorang penggiat panjat tebing yang bernama Muhammad Rubini Kertapati, atau biasa dipanggil dengan nama Bibin.
Jadi, 2 tahun yang lalu, saya dan teman2 mendaftar buat ikutan kegiatan ini. Sayangnya, 1 hari sebelum keberangkatan, saya terjatuh dari motor yang menyebabkan lutut saya cedera dan memar2. Saya langsung panggil tukang urut dan sore nya kaki saya sudah tidak sakit lagi, sudah bisa berjalan seperti biasa. Pada hari keberangkatan ke esokkan harinya, kami semua berkumpul di Dunkin Donuts Plaza Semanggi, tempat starting point, kemudian berangkat pada sekitar pukul 6 pagi. Perjalanan memakan waktu sekitar 3 jam plus 2x break dan tiba di TKP sekitar jam 10.00 pagi.
Kami berkumpul di base camp, sebuah rumah sederhana disebelah area parkiran, dan setelah cukup istirahat, kami menggunakan peralatan manjat, berjalan kaki sekitar 20m menuju lokasi starting point dibawah kaki gunung Parang. Disana kami dikasih briefing bagaimana caranya panjat tebing yang baik dan benar dengan menggunakan tali mengaman.
Setelah berdoa, satu persatu peserta mulai memanjat hingga tiba giliran saya naik. Semua alat sudah dikencangkan, akan tetapi, ketika kaki saya ditekuk, sakit dan ngilunya luar biasa. Tapi karena saya tetep ngotot pengen naik, so saya tetap membulatkan tekad untuk manjat. Sampai 5 tangga ke atas, saya berhenti. Sakitnya tak tertahankan. Ternyata bekas jatuh dari motor kemaren masih meninggalkan rasa sakit yang baru dirasakan apabila kaki di tekuk/di lipat.Â
Akhirnya saya menyerah, turun kembali dan tidak jadi memanjat karena saya tau dengan kondisi kaki cedera seperti ini, memaksakan diri memanjat hanya akan menyusahkan diri sendiri dan orang lain nantinya. Jadi sementara teman2 satu geng melanjutkan kegiatan panjat tebing ini, saya hanya bisa pasrah menunggu di base camp dalam kebosanan. Saya memaksakan diri untuk tidur, dan baru dibangunkan saat teman2 sudah pada selesai sekitar jam 2 siang. Makan siang bersama yang disediakan oleh penyelenggara, kemudian kami pun pulang ke Jakarta dan tiba di Jakarta sekitar jam 9 malam. Sedih nya tak tertahankan, udah bayar mahal, travel jauh kesana, hanya untuk duduk manis dan iri hati saja melihat photo teman2 yang dipamerkan ke group. Hiks...
...to be continued to the next page...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H