Mohon tunggu...
Dee Dee Sabrina
Dee Dee Sabrina Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

http://insideedee.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Racau Kacau

28 Januari 2011   18:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:05 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku benci saat-saat seperti ini. Saat dia benar-benar terasa terlalu jauh. Bukan hanya dari pandangku, hatinya juga begitu. Sayang, kamu kenapa? Bukankah kita sepakat kalau semua rasa dibagi dua?

Kulihat jam di pergelangan tangan kiriku, jarum detik masih bergerak dengan kecepatan normal, lalu kenapa malam menjadi seolah terlalu panjang? Argumen di udara yang tidak terselesaikan, ego, harga diri dan emosi, begitu banyak kata di kepalaku, sedikit sekali yang tersampaikan padamu. Kurasa layar putih yang kosong dan huruf-huruf bisa mengerti aku lebih baik lagi. Kuketik kata pertama, dan selanjutnya mengalir begitu saja.

Aku mengerjap menatap layar telpon genggam untuk kesekian kali. Ah, tidak ada apa-apa disitu. Hanya gambar aku dan dia sedang tertawa-tawa bahagia. Bahagia, iya. Kalau bahagia harusnya tidak seperti ini. Untuk menelepon dia pun aku gengsi setengah mati. Brengsek! Kenapa kekasihku harus si ratu ego sih!!

Selesai sudah sekian tulisan. Aman. Aku mengalihkan pandangan dari depan layar digital, menatap berkeliling kamar yang terasa begitu lengang. Kupegang dada sebelah kiri, degupnya belum normal lagi. Aku menyadari sesuatu, kekosongan itu, ada di dalam diriku. Kusambar telepon genggam, tapi urung menyambungkan jaringan. Hampir pagi, dia pasti lelap. Ah, sudahlah. Malas aku berpikir hal macam ini lama-lama.

Kulkas, aku mau ke kulkas. Butuh coklat porsi banyak dan soda bergelas-gelas. Ah, menyebalkan! Sudah lama tidak begini. Apa aku terlalu sayang? Sayang? ini namanya ketergantungan. Pikiranku melayang-layang kemana-mana. Hey, kamu yang disana, mengapa masih begitu!! Adzan shubuh terdengar, aku bahkan belum terpejam.

Suara aktivitas awal hari sudah dimulai, waktunya ritual doa. Kubuka jendela kamar dan mulai menangkupkan tangan menutupi satu sama lain. Sebatang rokok terselip di ujung bibirku. Dalam sepuluh baris doa yang kuucap, aku masih menyimpan semoga untuknya di sana. Semoga dia mengerti. Aku harus tidur, mungkin setelahnya, logikaku bisa sedikit mengalah dan bekerja sama dengan rasa.

Aku tidak suka drama, maka aku bergerak seperti biasa. Bangun, mandi, naik bis paling pagi. Otakku lelah meracau, tentangnya tidak pernah jadi mudah. Aku ingin berpaling, kicaunya makin menggila. Huff, aku lelah. Pasti, kubuka layar virtual miliknya, lega, tidak ada apa-apa disana. Hmm.. Curiga, mungkin belum. Duh, semoga kekasihku benar sudah dewasa. Aku mulai bekerja, satu-satunya cara agar teralih sejenak.

Aku terbangun lebih sore dari biasanya. Kupikir, mungkin otakku bekerja sama dengan tubuh, malas membebani diri dengan pikiran, mereka sepakat menidurkanku agak lama. Seperti biasa aku berselancar di dunia maya. Ada beberapa pelarian yang cukup menggoda untuk mengalihkan otak dari topik monoton tentangnya hari ini, tapi tak kulayani, malas. Kuintip sekilas markas dunia maya miliknya, ah, pemandangan tak sedap. Bukan, ini bukan cemburu, hanya rasa jengah dan kecewa. Melihatnya yang ternyata sama sekali tak menyimak, dia belum belajar juga. Aku cuma bisa tersenyum sinis dan tertawa satir, sudah segini saja? Masih berani bilang aku yang belum dewasa. Hah!

Ah, jam 9 malam. Perutku belum lagi lapar. Seorang teman datang, katanya dia tidak melihat aku makan seharian. Memang tidak, aku lupa. Bekerja betul-betul obat resah paling mujarab. Baru terasa kepalaku semakin berat. Menyerah, aku pulang saja. Sms, enggak, telpon, enggak. Ah, sulit. Turunkan sedikit ego, sepertinya tidak apa-apa. "Hey, sombong." Trick lama. Dia malah marah-marah.

Aku sedang di puncak marah, sedang di puncak kecewa. Berinteraksi dengannya sungguh menguras tenaga. Aku punya kendala dalam berbicara. Ah, seandainya bisa semudah menulis roman, pasti tak perlu resah semalaman. Telepon genggam bergetar, pesan singkat darinya. Aku berpikir sekian detik, masih malas membalas. Tapi menghindar tak akan menyelesaikan apa pun. Kepalaku mengatur kata. Serentet pesan singkat sebagai pembuka, lalu aku jelaskan inti perkara. Aku tak suka begini, kesalahan ini cukup fatal menurutku. Apapun hasil yang didapat nanti, aku berusaha tak peduli. Jika harus, maka terjadilah.

Duh, aku betul-betul lelah. Semua ucapanku mentah. Dia bilang aku tidak belajar apa-apa. Hey, aku sudah minta maaf. Dia tahu lemahku. Lalu, kira-kira aku harus berbuat apa agar dia luluh? Mungkin benar jalan jingkring keliling Monas jadi solusi. Ingin tidur, aku rindu kasur. Ingin dia, dia yang seperti biasa. Kutawarkan tiket emas, menuruti apapun solusi yang dia pinta. Ditolak mentah-mentah, aku mati gaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun