Denting statis sirene penanda waspada berbunyi di kejauhan, berikutnya terdengar raung kereta api. Setelahnya kembali hening mengantarkan detak jarum jam yang tergantung di dinding. Bayu melihat jam itu, pukul tiga pagi lebih tujuh menit. Dia masih berbaring di tepian tilam kapuk yang tipis.
Beberapa bungkus obat berserak di atas lantai semen berwarna hitam. Obat itu telah dihabiskannya tiga malam lalu, bersama sekaleng bir lokal yang telah kosong pula. Selama tiga hari juga dia tak beranjak dari kamar kos berukuran mini itu.
Pikirannya melayang. Pada kekasih yang baru saja terbang ke Papua, melanjutkan penelitiannya tentang budaya Indonesia. Pada sampul album solo-nya yang baru saja jadi. Pada beberapa kawan yang terakhir dia temui, dan diharapkannya akan segera datang mengunjungi.
Sebuah ketukan pelan di pintu kamar yang disertai dua suara bergantian memanggil namanya, memecah lamunan. Bayu diam saja tak bereaksi.
"Ndak ada orangnya 'e, Mas. Dari semalem dipanggil yo gak nyaut 'ik! Pergi mungkin." Seorang laki-laki, si penjaga kos, menegur mereka.
"Gak kok, Mas. Terakhir pulang dari tempat saya Rebo kemaren, gak kemana-mana, lagi sakit. Tapi ini hapenya ditelepon mati. Tidur mungkin ya, udah jam segini juga soalnya." Bayu mendengar seorang temannya di luar menyahuti.
Mata Bayu masih menyusuri garis siku langit-langit yang patah, ketika sebuah suara lain yang dikenalnya sebagai kawan juga, angkat bicara.
"Nu, mambu! Kok bau bangke ya? Perasaanku gak enak, dobrak aja yoh!"
Bunyi hentakan keras mengiringi derap langkah terburu. Pintu terhempas membentur dinding, seperti gerak lambat, ada jeda sekian detik sebelum mereka melihat tubuhnya tak bergerak di bawah. Tiga lelaki dewasa masuk menguasai kamarnya. Bayu masih berbaring tenang dengan kedua tangan terlipat di atas perut. Ketiga lelaki mendekati tubuhnya, mengguncang-guncang badannya. Bayu tetap tanpa suara. Bertiga mereka mengangkat tubuhnya, bergegas ke rumah sakit meski tahu sia-sia. Bayu melanjutkan lamunannya dalam posisi yang sama.
Tentang mimpinya menjadi musisi, sebuah album solo tanpa aturan yang tak sesuai idealisme. Tentang kekasih cantiknya yang begitu banyak kecewa, ingin segera dibayarnya dengan rasa bangga. Tentang masa muda yang tersia-sia oleh pergaulan kota. Tentang hidup dan sejuta cita-cita, yang sekarang hanya bisa dibayangkannya.
Jakarta, 14 Maret 2011
*sedang mengenang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H