Kemarin saya melewati para pedagang kuliner yang mangkal di portal samping rumah, terlihat sepi dari pembeli. Padahal biasanya ramai macam suasana di foodcourt mal-mal, jadilah saya bertanya kok sepi.
Berbarengan mereka menjawab, ada yang mengatakan alhamdulillah. Ada yang menjelaskan keadaan ini biasa terjadi saat liburan panjang yang umumnya dipergunakan untuk liburan ke luar kota.
Kata alhamdulillah acapkali mereka pakai bahkan di saat  situasi sedang tidak baik, macam saat saya sapa ketika mereka akan pulang ( karena mereka menitipkan bangku-bangku di teras belakang rumah ).
"Memang dagangannya sudah habis?"
"Alhamdulillah."
"Yah sayang, padahal saya pingin bubur polosan aja."
Eh tukang bubur menjawab masih ada, mangkok yang saya bawa diisinya dengan lengkap segala ubo rampe bahkan sate dan tukang bubur tak mau menerima bayaran.
Begitulah para pedagang tersebut selalu bersyukur, entah sedang laris atau sepi. Keadaan sepi sebenarnya jarang terjadi namun liburan panjang yang acapkali terjadi belakangan ini sedikit merubah tradisi kelarisan.
Karena dagangan umumnya selalu laris maka bisa dikata mereka memiliki safety net yang lebih dari cukup. Paling tidak tukang bubur mengendarai vespa merah terbaru, tukang mie ayam berhasil melunasi mobil Avanza yang sempat dikejar-kejar debt collector bahkan pedagang soto ayam bisa memiliki 2 kendaraan. Yang pertama mobil Avanza seken dibeli patungan dengan pamannya dan dimanfaatkan sebagai taksi online. Tidak berhenti disitu tukang soto yang memakai nama Kachong ( anak lelaki dari bahasa Madura ) selanjutnya membeli mobil Honda HRV. Yup mobil yang sering diposisikan sebagai mobil eksekutif muda itu bisa dimiliki dari berdagang soto.
Masih ingatkan si karyawan Pertamina ( Kaper ) yang meludahi orang karena mengingatkannya yang parkir sembarangan. Kaper itu perlu waktu 5 tahun kuliah di UI serta 10 tahun bekerja di Pertamina agar bisa membeli mobil HRV, Pajero dan rumah miliaran
Sementara Kachong cukup berdagang soto ayam 4 tahun, bisa membeli kedua mobil tersebut. Omset Kachong Rp. 2 juta/ hari, pedagang mie ayam, bubur ayam, nasi uduk berkisar Rp. 1juta/ hari.
Saya rasa rezeki Kachong jauh lebih besar dari pedagang lain selain karena ada unsur nasinya ( dimana orang Indonesia selalu memerlukan nasi ) juga karena ibadahnya kuat. Sejak dagangannya belum melejit, Kachong selalu mengisi bulan Ramadhan dengan ibadah total tanpa berdagang sama sekali.
"Moso Ramadhan ga istirahat, Mbak."Â Â
Tidak terlalu lama bagi para pedagang kuliner area portal samping rumah mencapai omset tinggi. Semuanya malah bermula saat Covid19 masuk ke Indonesia. Pedagang nasi uduk yang semula mangkal di depan Alfamart diusir. Dan beralihlah dia ke jalan samping rumah saya yang hanya beda 1 rumah dengan Alfa. Karena Covid19 datang portal ditutup permanen, biasanya buka tutup. Ini tentu menguntungkan bagi mereka tapi saat itu ketua RW malah akan menertibkan keberadaan para pedagang kuliner tersebut bahkan sudah mengancam akan mendatangkan satpol PP untuk mengangkut mereka. Jadilah mereka minta tolong saya untuk berunding dengan ketua RW yang kisahnya pernah saya tuliskan di sini dan memenangkan lomba ini.
Akhirnya ketua RW menyerah dan mereka bisa tetap berdagang. Sebagai tanda terimakasih, mereka selalu menggratiskan saat saya jajan. Ini tentunya membuat saya tak enak hati jadi saya bisa dibilang jarang sekali jajan di sana.
Saya lebih suka mencari alternatif jajan di tempat lain yang cukup banyak karena usaha kuliner memang jadi pilihan banyak UMKM. Hingga 2 tahun lalu saya menemukan pedagang pecel yang buka menjelang Maghrib. Melihat animo pembeli yang cukup banyak membuat saya ikutan membeli. Alamak ternyata enak sekali karena bumbu pecel buatan sendiri yang rasanya tebal. Sayurannyapun direbus setengah matang, tidak lembek,  baik bumbu pecel maupun sayuran diberikan dalam jumlah yang banyak, padahal harganya hanya Rp. 10 ribu. Sementara  tukang gado-gado serta ketoprak yang terletak 200 meter dari situ membandrol dagangannya dengan harga Rp. 15 ribu/ bungkus. Maka tak heran jika pembelinya ramai. Ibu Pecel Tak hanya menyediakan pecel, dia juga berdagang aneka lauk matang dari pepes ( tahu, ikan, ayam ), aneka tumis ( oncom, teri, ikan ) hingga gorengan yang ukurannya besar dan bisa disantap dengan dibubuhi  bumbu pecel.
Biasanya orang-orang membeli untuk disantap di rumah, selain emak-emak banyak juga mas-mas kantoran yang membeli. Tentunya pecel jadi alternatif makan malam yang lebih sehat.
Hampir tiap hari saya membeli dagangan Ibu Pecel hingga suatu hari saya tidak menemukan si Ibu. Bertanya pada sesama pedagang di sana,
"Dia ke Puncak, kan harpitnas."
Oh baiklah semua orang memang  perlu liburan, berdagang Senin -- Sabtu dengan mendorong gerobaknya ke spot dagangan. Menunggu hingga dagangan habis sekitar pk 9 malam, pulang tak bisa langsung tidur karena harus membereskan dagangannya.  Paginya mempersiapkan dagangan baru yang artinya kembali memasak, tentunya sungguh melelahkan.Â
Pedagang pecel juga perlu healing.
Biasanya pergi ke Puncak bersama dengan orang-orang sekitarnya. Begitulah dia mengisi waktu libur.Â
Sehat terus ya Ibu agar kami bisa tetap menyantap hidangan sehatmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H