Surti menatap hujaan dengan tatapan kosong.Seandainya almarhum suaminya masih ada,tentu jalan hidupnya tak akan seperti ini.Rumah yang asri dan tertata rapi,ana-anak yang manis,sepetak sawah yang bisa di gunakannya bersama suaminya untuk bercocok tanam.Betapa bahagianya.Surti tersenyum.Sebuah senyum pahit dan getir.
Semua sudah tak ada lagi.Bersama suara petir,lamunannyapun lenyap.Dengan tergeragap Surti berjalan masuk ke dalam rumah.Hari sudah mulai senja ketika Surti menyalakan lampu.Lelah terasa jiwa raganya.
Kedua anaknya sudah tak bersamanya lagi.Mereka telah berbahagia dengan keluarga mereka.Dan sepertinya mereka telah lama melupakan kehadiran Surti.Tinggallah Surti sendiri...Surti menyadari,semua adalah salahnya.Andai dulu dia tak bersikeras untuk pergi ke luar negeri dan meninggalkan anak-anaknya sendiri,tentu mereka masih disini,di sampingnya untuk menemani masa tuanya.Surti menghela nafas dalam.Sudahlah...pikirnya,nasi sudah jadi bubur.Dan waktu yang tlah terlewati tak kan mungkin kan kembali lagi.
Surti merebahkan tubuh rentanya.Dipan lama peninggaln almarhum suaminya.Di kamar itu,kenangan akan almarhum suaminya kembali hadir.Saat-saat bahagia mereka,saat-saat sedih mereka,semua ada disana.Hanya dinding kokoh yang menjadi saksi bisu kenangan Surti.Surti berusaha memejamkan matanya.Setelah hampir subuh,barulah matanya baru bisa terpejam...berasama mimpin-mimpinya...
Mimpi Surti sederhana...Surti hanya ingin bahagia di hari tuanya,berkumpul bahagia bersama anak cucu di sampingnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H