Beberapa jam yang lalu seolah menjawab pertanyaan yang menggantung dalam benakku selama beberapa tahun belakangan, Tuhan berkenan mempertemukan kita. Didalam pertemuan yang telah direncakan takdir, baik aku dan kamu saling menyapa dengan senyum singkat yang berbalut canggung. Mungkin aneh rasanya bagimu bertemu denganku, seperti aneh bagiku melihatmu tertawa dan tersenyum begitu manisnya pada seorang laki-laki yang meniliki dari kilau dijari manismu adalah tunanganmu. Dan itulah jawaban yang selalu aku harapkan selama ini.
Aku selalu menghitung waktu yang berlalu sejak kita berpisah. Tepatnya tiga tahun tujuh bulan dua puluh tujuh hari. Singkatkah? Mungkin bagimu itu waktu yang cukup singkat, namun bagiku tiga tahun tujuh bulan dua puluh tujuh hari adalah waktu terlama dan yang paling menyiksa sumur hidupku, terutama ketika mengingat cara hubungan kita berakhir yang benar-benar tidak bisa dikatakan dewasa.
Hari itu, setelah melalui pertengkaran hebat dan cekcok berkepanjangan, akhirnya aku dan kamu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita dengan marah, yang benar-benar kusesali hari ini, meski aku tahu kamu tak pernah menyesalinya. Bagimu aku hanyalah sebuah masa lalu yang patut untuk dilupakan, dan lebih dari itu, bagimu aku hanyalah kenangan buruk yang patut untuk dibuang. Aku tak akan menyalahkanmu, tidak juga mencoba membenarkan diriku sendiri karena pada kenyataannya aku memang bersalah.
Ya, aku memang bersalah. Aku terlalu menjunjung tinggi idealisme ku tanpa mau memikirkan akibatnya padamu. Aku terlalu mempercayai apa yang kupercayai hingga aku menjadi seorang tiran yang hanya bisa menyakiti hatimu, dan aku sangat menyesali hal itu.
Seperti yang aku katakan dulu, sebelum hubungan kita menjadi begitu rumit seperti sekarang, aku mencintaimu dan sampai sekarang pun aku tetap mencintaimu. Tak ada yang berubah dari hal itu, selain status kita yang tak lagi sama yang sepenuhnya adalah salahku. Aku tak menyalahkanmu, sudah berulang kali kutandaskan itu pada siapapun yang mencoba untuk menyalahkanmu. Semua ini salahku. Salahku karena terlalu mengabaikanmu, salahku karena terlalu menjunjung tinggi idealismeku. Dan jika kamu lebih memilih bersama orang yang akan dengan senang hati mencurahkan semua perhatiannya padamu, aku bisa memahaminya bahkan aku bisa menerimanya dengan sedikit lapang dada.
Apa yang sedang kamu lakukan, ada dimana kamu sekarang, sedang bersama siapa.
Dulu, semua pertanyaan itu selalu membuat kita bertengkar tiap kamu kamu melontarkannya ataupun mencantumkannya dalam pesan singkatmu. Dulu, semua pertanyaan itu begitu kubenci, namun sekarang semua pertanyaan itu begitu kurindukan ketika kamu tidak lagi menyanyakannya padaku, namun kepada orang yang akan dengan senang hati menjawabnya. Aku dulu terlalu egois. Aku terlalu percaya bahwa apa yang aku yakini benar. Liberalisme yang kuanut telah meracuni otakku, hingga aku menyia-nyiakan orang sebaik dan seluar biasa kamu. Aku terlalu naïf dan munafik hingga aku kehilanganmu. Aku terlalu mengabaikanmu, percaya sepenuhnya padamu dan percaya kalau aku melakukan hal yang benar dengan menghormati privasimu, meski sebenarnya semua itu salah total dan hanya akan menyeret hubungan kita semakin dekat dengan kata putus yang dulu tak begitu aku pikirkan.
Salahkah jika aku menghormati privasimu? Itulah kalimat yang kerap kali kulontarkan ketika kamu mempertanyakan sikapku dan menuntut lebih banyak perhatian. Aku yakin, saat itu bahkan hingga hari ini kamu begitu membenci kalimat itu yang aku yakin juga mengiris-iris hatimu. Waktu itu aku tak tahu, atau lebih tepatnya mencoba tidak tahu kalau gadis manapun didunia ini membutuhkan perhatian dan kasih sayang, bukannya kepercayaan seluas-luasnya dengan dalih menghormati privasi.
Sekarang, setelah tiga tahun tujuh bulan dan dua puluh tujuh hari berlalu tanpa bersamamu, tanpa mendengar lagi suaramu, tanpa bisa melihat lagi senyummu, aku tahu kalau apa yang aku lakukan padamu dulu sepenuhnya salah. Kamu punya privasi, begitu juga aku. Tapi dengan kita telah memutuskan untuk menjalani hari-hari berdua, seharusnya batas privasi itu sedikit bergeser hingga baik aku maupun kamu tidak merasa terlalu diabaikan ataupun tidak diperhatikan. Namun apa gunanya semua pemahaman itu sekarang? Beberapa jam yang lalu aku telah melihatmu berbahagia dengan seseorang yang bisa mengerti dan memperhatikanmu sepenuhnya, yah.,. walaupun sebagai lelaki normal aku sedikit cemburu melihatmu dengannya, tapi melihatmu bahagia telah membayar semuanya. Yang bisa kulakukan untukmu sekarang hanyalah berharap dan terus berharap kalau kamu bisa bahagai dan sedikit memaafkanku atas apa yang aku lakukan padamu dulu.
Here I Am
-Annora-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H