Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Siapa Capres yang (Benar-benar) Tegas?

9 Juni 2014   18:24 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:33 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seiring berjalannya kampanye pilpres, isu yang sering diangkat adalah tentang ketegasan. Isu ini menjadi sangat penting karena masalah berat yang dihadapi oleh bangsa ini membutuhkan ketegasan. Ketegasan sendiri sudah dilekatkan menjadi ciri pemimpin yang baik. Ketegasan di diri pemimpin dipandang sebagai modal penting untuk pengimplementasian pengelolaan yang efisien dan efektif.

Pertanyaanya kemudian adalah bagaimana menentukan siapa yang lebih tegas?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perhatikan dua contoh dibawah ini.

X adalah seorang yang dianggap tegas sebagai pemimpin oleh bawahannya. Suaranya yang keras dan lantang ketika memberikan perintah ditunjang dengan sosoknya yang kekar menjadi cermin dari ketegasan sifatnya. Tidak jarang X menjadi marah ketika karyawannya melakukan kelalaian. Semua pegawai di kantornya sepakat kalau X adalah sosok yang tegas. Diluar sepengetahuan para karyawan di kantornya, dalam memenangkan proyek X sering melakukan manipulasi terutama dengan pejabat-pejabat senior yang memiliki kemampuan “menyediakan” proyek. Setelah “memenangkan” proyek, X juga sering melakukan negosiasi pajak dengan petugas nakal. Dalam memberikan upah bayaran, X selalu berpatok pada UMR saja dan jarang memberikan bonus meskipun keuntungannya kadang berjumlah sangat besar.

Y adalah seorang ketua kelas 6 SD. Perawakannya kecil dan berkaca mata. Y adalah seorang yang rajin belajar, bukan karena nilai tetapi kegairahannya kepada ilmu pengetahuan yang mendorongnya untuk giat belajar. Y dianggap tidak begitu tegas oleh teman-temannya karena ketika terjadi konflik antara teman-temannya, Y justru mengambil sikap di tengah, berusaha mencari jalan keluar yang tidak membuat salah satu pihak sakit hati. Suatu hari tanpa sepengetahuan teman-temannya, Y dipanggil oleh guru kelas di kantornya. Setelah tiba di kantor, guru kelasnya meminta Y memberikan sebagian besar jawaban ujian kepada seluruh temannya karena hasil ujian ini akan dipantau langsung oleh pejabat senior. Tanpa pikir panjang Y menolak. Gurunya menjadi marah dan menuduh Y tidak ingin membantu teman-temannya. Tapi Y tetap menolak karena perintah itu melanggar prinsip moral yang dia pegang teguh, kejujuran.

Persepsi ketegasan tidak bisa lepas dari persepsi awal yang sering dikaburkan oleh pengalaman dan harapan. Persepsi awal juga dengan cepat terbentuk karena performa fisik. Bukankah yang ada di benak Anda adalah kesopanan ketika Anda melihat seorang gadis berwajah cantik? Baru kemudian mungkin Anda terkejut ketika penilaian itu dinegasikan dengan sikap yang sebaliknya. Sebenarnya Anda tidak perlu terkejut karena penilaian Anda terhadap gadis cantik itu “hanya” berdasarkan pada persepsi awal, dan sayangnya dasarnya hanyalah persepsi fisik sebagai bentuk pemaknaan yang muncul dari pengalaman yang tidak bisa lepas dari konsep struktural sosial yang mengatakan bahwa “kecantikan adalah kesopanan”. Intensitas keterkejutan disini akan berjalan seiring dengan seberapa kuat keyakinan Anda sebagai produk konsep struktural sosial, bukan produk pencarian kebenaran subyektif.

Sekali lagi lihat contoh X dan Y diatas. Bagaimana jika tidak ditambahkan variabel “kontradiksi” pada setiap kasus. Tentunya karena dipengaruhi oleh keyakinan sebagai manifestasi pengalaman yang sangat pengaruhi oleh konsep struktural sosial, sebagian besar akan menganggap X tegas dan Y tidak tegas. Mungkin Anda akan berkata, “Sebentar tunggu dulu jangan disimpulkan secepat itu. Ayo kita cari informasi-informasi lain yang menguatkan ketegasannya.”

Jika Anda berpikir itu (menunda pembentukan keyakinan dengan cepat dan membutuhkan informasi-informasi lain untuk menunjang keyakinan Anda), maka Anda sedang dalam posisi mencari kebenaran subyektif dan sedang keluar dari kungkungan persepsi sosial . Kebenaran Anda (dalam hal ini tentang ketegasan) akan menjadi milik Anda sendiri bukan milik teman-teman Anda, bukan milik para tetangga Anda, bukan milik guru Anda, bukan milik pemuka-pemuka agama, bukan milik orang tua Anda, atau partai politik yang Anda pilih. Kebenaran ini milik Anda sendiri karena Andalah yang mencari dan menemukannya.

Apakah Anda sudah memutuskan Capres mana yang tegas dan mana yang tidak? Semoga jawaban Anda dilandasi oleh informasi-informasi yang kuantitas dan kualitasnya bisa memberikan Anda ruang yang cukup nyaman untuk membuat keputusan sadar. Meskipun kita tidak bisa memastikan 100 persen keakuratan kebenarannya (1), setidaknya jawaban kita didasarkan pada informasi bukan pada persepsi awal yang sangat rentan bias (atau dikaburkan).

Salam hormat. Semoga bermanfaat.

Keterangan:

(1) Immanuel Kant memberikan konsep dualisme noumena dan fenomena. Noumena adalah kesejatian dari sebuah entitas. Sedangkan fenomena adalah kesan apa yang ditangkap dari sebuah obyek. Menurut Kant kita tidak bisa memahami atau menangkap kebenaran sejati (noumena) dari sebuah obyek, yang kita tangkap hanyalah fenomena. Meskipun pada tulisan-tulisan akhirnya Kant tidak begitu banyak menyinggung dualisme ini, tetapi hubungan noumena-fenomena menjadi ciri khas dari Kantianisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun