Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Polemik "Ustadzah TV" dan Dialektika Umat

3 Mei 2016   15:16 Diperbarui: 3 Mei 2016   20:07 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - Alquran (Shutterstock)Fenomena pendakwah TV adalah fenomena menarik yang muncul dari masyarakat yang menyandarkan sebagian besar informasinya pada media-media elektronik seperti contohnya TV. Oleh sebab itu, dari sisi agen-agen perubahan sosial, penyebaran populasi penikmat TV pada semua struktur dan level sosial menjadi sebab alasan mereka menggunakan TV sebagai media penyebaran nilai-nilai, salah satunya nilai ajaran agama. Sedangkan dari sisi obyek perubahan, kepraktisan informasi dari TV membuat media ini menjadi pilihan tepat untuk manajemen waktu yang mengalokasikan sedikit waktu untuk memperoleh informasi sebagai akibat dari tuntutan pemenuhan kebutuhan dan formasi keyakinan kognitif yang terdefinisi oleh kemenangan kepraktisan dan kepragmatisan.

Mengingat keterkaitan antara kecenderungan memilih TV sebagai sumber informasi dan sifat manajemen waktu yang mengedepankan pencapaian manfaat yang besar dari waktu dan upaya sesedikit mungkin, upaya penyebaran nilai, dakwah agama dalam kasus ini, juga akan terpengaruhi dan terdefinisi oleh situasi sosial ini karena kemunculannya berasal dari dan ditujukan untuk populasi yang terdefinisi seperti ini. Dengan kata lain, pendakwah TV memiliki bentuk wujud yang berbeda yang lebih jauh mempengaruhi pola dan struktur penyampaian dakwahnya sebagai bagian dari zeitgeist (roh jaman).

Belakangan ini, media berita online kembali diramaikan dengan adanya tuntutan publik dalam bentuk petisi yang ditujukan kepada seorang pendakwah TV perempuan (ustadzah) yang kariernya sedang naik daun. Beberapa tuntutan dari petisi tersebut bukanlah hal baru terkait fenomena pendakwah TV dan perjalanan fenomena ini yang sering ditandai dengan keributan sosial. Penguasaan ilmu dan gaya hidup yang tidak sesuai dengan gelar yang disandang para pendakwah TV tersebut berulang kali muncul sebagai tema pusat tuntutan umat.

Tuntutan penguasaan ilmu berasal dari persepsi bahwa agama harus dan sepatutnya dimasukkan dalam wilayah obyektivitas, sebuah pendekatan eksoterisme yang ditandai dengan atribut-atribut “harus-wajib”. Ada kerinduan untuk membawa agama ke wilayah obyektif untuk memperoleh rumusan tunggal tentang kebenaran dan menggunakannya sebagai pegangan baku yang praktis sehingga tidak mengganggu alokasi waktu dan sumber daya yang sangat berharga untuk memenuhi tuntutan kebutuhan sampai jenjang self-esteem atau identitas diri, tidak sampai pada jenjang aktualisasi diri dan pencapaian spiritual meminjam jenjang kebutuhan dalam teori piramida kebutuhan Maslow karena agama hanya dibutuhkan sampai pada tingkat identitas diri saja.

Obyektivitas agama adalah subyek pembahasan menarik yang pernah dibahas secara mendalam oleh Soren Kierkegaard dalam tulisannya “Concluding unscientific postcript” yang berisi kritik seberapa banyak penjelasan yang dibutuhkan untuk membuat agama sama seperti ilmu pengetahuan. Seberapa banyak ilmu yang dibutuhkan untuk membuat ustad atau ustadzah dianggap memiliki penguasaan ilmu yang obyektif? Bukankah populasi sosial yang memuja kepraktisan dan kepragmatisan tidak membutuhkan pembahasan esoterik?

Islam sendiri tidak memiliki struktur doktrin yang ketat. Tidak adanya pusat otoritas yang mengatur semua aliran doktrin membuat teologi Islam menjadi sangat kaya dengan pemikiran. Mulai fundamental ortodoks, moderat ortodoks, rasional progresif dan mistik progresif, membuat teologi Islam seperti hamparan permadani yang keindahannya terletak pada dialektika antara tiga aspek penting dalam teologi Islam, tradisi-akal-mistik. Sejauh mana kecukupan ilmu bisa memuaskan tuntutan untuk menghapus permadani yang menampilkan aneka ragam corak tersebut? Bukankah pada suatu poin, kecukupan ilmu yang dimaksud di sini adalah pembenaran yang diklaim obyektif atas salah satu keseimbangan antara tradisi-akal-mistik, bukan kecukupan ilmu yang menghapus corak tersebut? Bukankah itu sulit untuk disebut obyektif?

Fenomena pendakwah TV seperti ini juga menjadi kritik sosial di Amerika Serikat. Seiring dengan menjamurnya penggunaan TV sebagai media hiburan dan sumber informasi, tidak membutuhkan waktu lama sebelum pendakwah agama yang disebut televangelist sering dijumpai di acara-acara TV. Salah satu kritiknya adalah gaya hidup para televangelist yang jauh dari doktrin agama mengenai altruisme. Konon penggunaan pesawat pribadi menjadi sorotan kritik tajam terhadap mereka.

Bukan sekali ini saja, pendakwah TV menjadi sorotan karena gaya hidup mereka dan pengenaan biaya selangit untuk jasa mereka. Beberapa orang bisa menerima, beberapa tidak. Sulit memang menerima komposisi agamawan dengan gaya hidup konsumeristik yang ditampilkan dalam wujud kepemilikan properti dengan harga selangit selain menggunakan kata kontras untuk memaknainya. Tetapi pada beberapa intensitas, kesulitan itu seakan mereda. Alasannya mungkin sekali lagi adalah zeitgeist atau apa yang disebut Soren Kierkegaard dengan levelling. Pada sebuah jaman, tidak ada orang yang bisa lepas dari efek penyamarataan (levelling). Pada jaman ketika kepemilikan properti memiliki keabsahan dan legitimasi sosial, kebalikannya adalah transendental, bukan wujud.

Berarti tuntutan itu bukan melepaskan kepemilikan tetapi mencapai pemaknaan kepemilikan yang tepat. Persoalannya adalah penentuan titik di mana pemaknaan kepemilikan itu bisa disandingkan pas dengan agamawan, ustad atau ustadzah TV dalam konteks ini.

Asetisme atau doktrin pengekangan diri memang menjadi bagian penting dalam teologi Islam. Sebagai agama samawi, Islam mengajarkan pengekangan diri yang diwujudkan dalam konsep zuhud, meskipun Islam tidak mengenal konsep monastisisme (kependetaan) dan abstinence (selibat). Sebagai nilai asetisme tetap terjaga melalui dinamika sosial termasuk pemaknaan agama di dalamnya sebagai nilai-nilai kebaikan. Sebagai nilai asetisme bisa mengarungi perjalanan melintasi perubahan jaman, tetapi tentu saja dalam wujudnya asetisme mengalami perubahan.

Tentu saja aneh mengharapkan ustad atau ustadzah TV mengenakan jubah kain yang biasa dikenakan oleh para sufi dalam jangka waktu dekat ini sambil membicarakan pencapaian spiritual yang esoterik. Mereka tetap akan menjadi situasionis yang lahir dari permintaan masyarakat yang praktis dan pragmatis sebagai roh jaman, tidak akan pernah menjadi sufis dengan segala atribut asetik mereka atau teolog rasional dengan segala atribut keilmuan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun