Semakin banyak sikap dan tindakan di dunia kontemporer ini yang dianggap berlawanan dengan agama. Agama semakin terpojokkan dan membutuhkan pembelaan. Oleh sebab itu sudah menjadi kewajiban bagi para penganutnya untuk membela agamanya dengan cara apa pun. Agama harus dibela sampai titik darah penghabisan dengan cara apa pun.
Mungkin seperti itu alasan yang melatarbelakangi terbentuknya kelompok-kelompok yang mengklaim diri mereka sebagai para pembela agama. Ketika gagasan ini semakin ditawarkan kepada publik, muncul berbagai respon dari publik yang terefleksi dari pertanyaan hipotesis: Apakah agama perlu dibela dan jika perlu dibela seperti apa pembelaan yang layak?
Artikel ini tidak akan membawa pembahasannya ke wilayah idealisme(1) karena jika dipahami dari sisi ini agama tidak akan ditempatkan sebagai obyek per se yang lepas dari persepsi dan ide pemikiran tetapi lebih sebagai fenomena yang ditangkap oleh pikiran atau dengan kata lain artikel ini tidak akan menyinggung kesakralan konotasi agama yang sudah terbentuk dalam pikiran publik sebagai wujud materi nyata melalui upaya dekonstruksi materi dengan menggunakan dalil-dalil imaterialisme(2).
Artikel ini akan lebih fokus pada dua pertanyaan awal di atas dari sisi analisa kritis sosiologis upaya-upaya kolektif untuk merubah atau mentransfer keyakinan subyektif menjadi kebenaran obyektif formal dan masih menempatkan agama sebagai obyek realitas tetapi bukan sebagai obyek metafisik melainkan sebagai obyek produk hasil upaya aktif kolektif untuk menciptakan kebenaran obyektif yang berkaitan dengan nilai moral. Dan sekali lagi obyek ini dipandang sebagai realita.
Sebagian jawaban dari pertanyaan pertama sebenarnya secara tidak langsung sudah terjawab dalam paragraf diatas. Sebagai bentuk upaya aktif untuk menciptakan kebenaran moral obyektif agama dianggap masih perlu untuk dibela. Mungkin alasan kuatnya terletak pada klaim bahwa masih dibutuhkannya struktur moral obyektif yang kuat sebagai pendorong untuk “memaksa” eksekutif membuat regulasi yang sejalan dengan struktur kebenaran obyektif ini.
Tetapi pembentukan struktur kebenaran obyektif ini membutuhkan lembaga dan pelembagaan memiliki syarat awal yaitu kejelasan pemosisian diantara sekian banyak tesis dan anti tesis yang muncul dari sumber-sumber awal agama. Sayangnya ada beberapa bangunan tertentu yang harus dibuat kuat dan kokoh seperti benteng lengkap dengan para pengawalnya dalam waktu singkat dan dalam struktur bangunan seperti ini sintesis(3) dalam bentuk apa pun dianggap melemahkan struktur kebenaran obyektif yang ditawarkan kepada individu lain setelah bangunan ini “resmi” terbentuk dari sekumpulan kebenaran personal subyektif. Penawaran aktif dilakukan tentu saja untuk memperkuat benteng tersebut.
Dan dari gambaran itu pembelaan agama menjadi sangat obyektif dan cara pembelaannya akan semakin terlihat jelas. Kenapa? Karena tentu saja upaya sintetis untuk menyatukan tesis dan anti tesis yang muncul dari penafsiran sumber awal dianggap melemahkan struktur. Tidak ada ruang berdialektika dan beradu penalaran untuk memecahkan persoalan teologi seperti apakah pemimpin politik bisa berasal dari individu yang memiliki keyakinan lain. Ruang-ruang seperti itu tidak dibutuhkan karena kembali sekali lagi dianggap melemahkan struktur.
Menarik menyinggung sedikit alasan mengapa struktur pelembagaan yang kemudian mengklaim diri mereka sebagai para pembela agama menarik individu dalam jumlah yang tidak sedikit. Ada asumsi bahwa pengabaian kebenaran empiris melalui upaya aktif mengelola informasi yang diterima indera dan penyandaran yang berlebihan pada kebenaran rasionalis intuitif membawa individu ke arah radikalisme rasionalis yang memandang dan memahami entitas metafisik dalam sudut pandang korespondensif(4).
Ada sedikit perasaan menyesal karena analisa di atas akhirnya membawa kepada potensi buram dari upaya-upaya untuk membela agama dan seakan-akan pertanyaan terakhir, seperti apa pembelaan yang layak?, belum terjawab. Kebutuhan lembaga dan pelembagaan agama untuk membela agama memang menjadi perdebatan yang menarik. Tetapi juga tidak tepat jika pembentukan lembaga tersebut pada akhirnya justru mematikan dialektika untuk menemukan sintesis dan pembelaan agama justru terjerumus pada tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagai penutup, untuk menebus penyesalan tersebut, akan disampaikan penawaran hipotesis bentuk pembelaan yang layak. Kebebasan yang ditawarkan oleh demokrasi sebaiknya digunakan sebagai kesempatan untuk membawa kesadaran pembelaan agamake arah lain(5) yaitu upaya yang dimulai dengan pencarian subyektif tentang kebenaran moral melalui dialektika aktif personal sebelum dibawa ke wilayah lembaga, jika masih dibutuhkan.
Keterangan:
(1) Idealisme adalah aliran filsafat yang menyebut bahwa realitas sebenarnya adalah entitas yang terbentuk oleh pikiran sehingga bersifat immaterial.
(2) Immaterialisme adalah aliran filsafat yang menyebut bahwa obyek tidak memiliki eksistensi obyektif.
(3) Sintesis dalam filsafat Hegelian adalah tahap terakhir dalam proses dialektika dimana ide baru muncul sebagai akibat dialektika antara tesis dengan anti tesisnya.
(4) Sudut pandang korespondensif berhubungan dengan kebenaran korespondsif dimana kebenaran dipandang benar jika mencerminkan atau sesuai dengan fakta.
(5) Karena demokrasi juga memberikan ruang kebebasan untuk pembentukan lembaga agama yang didasari pada rasionalis intuitif yang mengabaikan pentingnya bukti-bukti empiris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H