Pendidikan bahasa daerah sebagai muatan lokal tidak bisa melepaskan dirinya dari kontroversi. Menurut penulis pendidikan bahasa daerah masih perlu dan bahkan penting untuk tetap diberikan tetapi kontennya harus benar-benar disesuaikan dengan kondisi kultur dan sub-bahasa daerah setempat. Berikut ini percakapan saya dengan keponakan saya yang masih duduk di SD dalam bahasa daerah kami (Sub-bahasa Jawa Malangan) yang mensiratkan persoalan yang ada dalam pendidikan bahasa daerah, terutama pendidikan bahasa jawa.
Saya (S): Sinau opo se rek kok ketoke angel temen? (Belajar apa sih kok kelihatannya sulit?)
Keponakan (K): Boso jowo. Gladhen iku opo se? (Bahasa Jawa. “Gladhen” itu apa sih?)
S: Opo yo? Gak ngerti aku. …..Oh ala gladhen iku latihan. Iki lho ngisore onok soal-soale (Apa ya? Aku tidak tahu ……Oh “gladhen” iku latihan soal. Ini lho ada soal-soalnya.)
(Sejenak kami berdua diam. Dia sibuk mengerjakan soal-soalnya)
K: Plesir iku opo se? Cek angele rek. (“Plesir” itu apa sih? Sulit sekali sih?)
S: Plesir iku rekreasi, nglencer. (“Plesir” itu berwisata).
K: Kahanan iku opo se? (“Kahanan” itu apa sih?)
S: Kahanan iku….hmmmm keadaan. (“Kahanan” itu ….hmmmm keadaan)
(Jawaban yang terakhir saya pribadi juga tidak begitu yakin).
S: Ngene ae wes. Cek nilai boso Jowomu apik. Manggeno ae ndek Jawa Tengah sak wulan rong wulan, dijamin apik wes. (Begini saja. Biar nilai bahasa Jawamu baik, tinggal saja di Jawa Tengah satu, dua bulan, dijamin nilaimu baik).
K: Onok-onok ae sampeyan iku. (Kamu bisa-bisa saja).
Sebelum masuk ke pembahasan persoalan dalam pendidikan Bahasa Jawa, sebaiknya perlu disampaikan disini sedikit tentang Bahasa Jawa. Bahasa Jawa dibagi menjadi tiga dialek sub-bahasa berdasarkan sub-daerah:
1. Bahasa Jawa Bagian Tengah (Jawa Tengahan) sebagian besar digunakan di Surakarta,Yogyakarta dan daerah-daerah di sekitarnya yang dibagi-bagi lagi menjadi sub-sub dialek.
2. Bahasa Jawa Bagian Barat (Jawa Kulonan) digunakan di bagian barat provinsi Jawa Tengah seperti daerah Tegal, Banyumas, Cirebon dan wilayah barat lainnya. Meskipun tidak seragam, biasanya bahasa ini disebut bahasa ngapak ngapak.
3. Bahasa Jawa Bagian Timur (Jawa Wetanan) digunakan di wilayah sebelah timur sungai Brantas dari Nganjuk sampai Banyuwangi. Sebagian besar dipengaruhi oleh sub-bahasa jawa Surabaya dan Malang.
Pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada pendidikan bahasa Jawa di kota Malang sebagai tempat tinggal penulis. Bahasa Jawa Malangan semakin hari memiliki kosa kata yang sangat berbeda dengan bahasa Jawa Tengahan. Pembentukan identitas kultur semakin tercermin dari bahasa Jawa yang digunakan sehari-hari. Masih ditambah lagi dengan pembentukan identitas kota dengan menggunakan bahasa Walikan Malangan sebagai identitas asli Malang.
Siswa SD yang mendapatkan pelajaran Bahasa Jawa di Malang banyak mengalami kesulitan memahami kosa kata bahasa Jawa karena perbedaan kosa kata yang semakin hari semakin banyak karena buku teks yang digunakan masih menggunakan bahasa Jawa Tengahan. Di Malang, pendidikan muatan lokal bahasa daerah yang seharusnya menjadi bentuk pendidikan identitas kultur asal menjadi bentuk pembelajaran bahasa yang “asing”. Kondisi ini diperparah dengan “pemaksaan” pembelajaran bahasa krama sebagai bahasa halus dan sopan ke dalam pendidikan bahasa Jawa. Seperti diketahui dalam konteks sosial bahasa Jawa dibagi menjadi 3: bahasa Ngoko, Madya, Krama. Penggunaan bahasa Krama di wilayah Malang sangat berbeda dengan bahasa Krama di Jawa Tengahan. Perbedaan yang semakin besar inilah yang membuat belajar bahasa Jawa Tengahan (apalagi bahasa Krama) tidak ubahnya sebagai beban tersendiri bagi siswa-siswa SD di Malang. Beruntung bagi siswa yang memiliki orang tua yang berasal dari wilayah pemakai bahasa Jawa Tengahan karena mereka bisa membantu mengerjakan soal-soal latihan.
Pendidikan muatan lokal sebaiknya adalah pendidikan yang betul-betul mencerminkan ciri, identitas, kondisi dan kebutuhan daerah setempat. Pendidikan bahasa daerah sebagai muatan lokal seharusnya diarahkan untuk memupuk identitas dan pengenalan terhadap daerah asal siswa, bukan mempelajari sesuatu yang “asing”. Banyak pihak yang mengatakan bahwa Jawa Tengahan adalah bentuk paling sopan dan harus dipelajari untuk mempelajari kesopanan. Tidak ada pihak yang keberatan untuk mengajarkan kesopanan kepada peserta didik.
Di manapun kita tinggal pasti kita diharapkan sopan terhadap orang tua. Itu landasan moral dasarnya dan semua pasti sepakat bahwa itu seharusnya absolut. Tetapi bagaimana cara menyampaikan kesopanan itu, salah satunya dengan menggunakan bahasa, pastilah masuk wilayah relatifisme dan setiap kultur memiliki cara dan penyampaiannya sendiri-sendiri. Apakah dengan mempelajari bahasa krama jawa Tengahan yang terdengar asing di daerah Jawa Timuran (untuk kasus ini Malangan), diharapkan siswa bisa mempraktekannya sehari-hari kepada orang tua mereka supaya mereka dianggap sopan sedangkan bahasa sehari-hari mereka yang dianggap sopan oleh orang tua mereka berbeda? Jika pemakaian bahasa Krama Jawa Tengahan dianggap mewakili kesopanan semua daerah pengguna bahasa Jawa, maka bisa dipastikan sebagian besar anak-anak di Jawa Timur, terutama di Surabaya dan Malang bukanlah anak yang sopan, sesuatu yang sulit untuk dinalar.
Persoalan konseptual eksistensi kultur bisa terlihat jelas disini. Dalam wilayah muatan lokal, mengapa harus bersusah payah belajar “bahasa” dan “kultur” orang lain jika kemudian semuanya itu hanya tertinggal di ruang-ruang kelas karena dunia di luar kelas menawarkan bentuk-bentuk penyampaian kesopanan dan identitas yang berbeda? Mengapa tidak belajar sesuatu yang benar-benar berguna praktis ketika siswa keluar dari kelas, sesuatu yang memang benar-benar dipraktekan oleh komunitas kultur lokal yang menjadi identitas mereka. Dunia pendidikan kontemporer sangat menghargai eksistensi kultur asal peserta didik sebagai upaya untuk memupuk identitas eksistensi diri.
Sempat juga terlintas dalam benak saya, seharusnya pendidikan bahasa daerah itu juga menyelipkan apa yang menjadi identitas dan kebanggan lokal. Dalam hal ini karena Malang sebagai kota bola dan kota yang bangga dengan bahasa walikannya, apa salahnya memasukkan komponen-komponen tersebut dalam pendidikan. Atau beberapa pihak yang “berkuasa” masih tetap memaksakan kehendaknya untuk menentukan mana yang sopan dan mana yang tidak, mana yang perlu dan mana yang tidak dari kaca mata yang jauh disana.
Tulisan ini sebaiknya dipahami sebagai upaya untuk mensejajarkan semua kultur dan memposisikan bahasa sebagai identitas kultur pada tempatnya yang sebenarnya dalam wujud pendidikan bahasa daerah sebagai muatan lokal dan upaya konstruktif untuk merenungkan bentuk-bentuk pendidikan bahasa Jawa yang lebih baik dan semoga pendidikan bahasa daerah mempertimbangkan aspek-aspek ini. Tentunya masih ada keterbatasan dalam konsep dan penulisan artikel ini. Terkait pembahasan kesopanan dalam wilayah relatifisme, penulis telah menulis sebuah artikel yang khusus membahas tentang relatifisme moral. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H