Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kritik Terhadap Ikhlas

27 Juni 2015   09:19 Diperbarui: 27 Juni 2015   09:19 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ikhlas. Sebuah kata yang sering kita dengar. Selama periode waktu tertentu yang menampilkan atribut-atribut agama kata ini seakan-akan memiliki kembali kekuatan sosialnya dan seakan-akan sudah menjadi penanda eksistensi sosial masyarakat kita. Intensitas upaya untuk menampilkan kata ikhlas selama periode waktu tersebut seperti jamur yang tumbuh di puncak musim hujan. Melalui berbagai macam media, kata ini muncul, terutama di media masa konvensional seperti surat kabar karena persepsi ajaran agama diberikan ruang sendiri dan intensitas penayangannya pun bertambah. Bergembiralah para pemuja kata ini. Tidak ada perayaan kata ikhlas yang begitu megah selain saat-saat itu.

Semoga saja perayaan itu tidak melupakan terminologi dan etimologi dan tetap melekatkan padanya persoalan yang bisa muncul dari terminologi dan etimologi yang mengikutinya (atau apakah persoalan tersebut sengaja dikesampingkan?). Dalam KBBI ikhlas diartikan sebagai hati yang bersih dan ketulusan. Ikhlas sering diposisikan berlawanan dengan pamrih yang menurut KBBI adalah maksud tersembunyi untuk kepentingan pribadi. Dalam bahasa Inggris ikhlas sering diterjemahkan dengan sincere yang berasal dari kata latin sincerus yang berarti bersih, murni atau pantas. Dari akar bahasanya tampaknya sincere dengan ikhlas memang sepadan. Sebagai lawannya pamrih dalam bahas Inggris sering dipadankan dengan profit, purpose dan intention. Sebenarnya terdapat perbedaan makna antara pamrih dengan profit, purpose atau intention dalam perjalanan etimologinya. Pamrih sendiri semakin mendapatkan nilai negatif karena elemen “maksud tersembunyi” dan “kepentingan pribadi”-nya sedangkan profit, purpose dan intention masih bersifat netral.     

Lalu bagaimana dengan persoalan persepsi yang melekat padanya? Sebelum membahas lebih jauh tentang kata ikhlas perhatikan contoh kasus dilematika moral berikut ini.

Suatu hari A bertemu dengan teman dekat A yang sedang dililit masalah keuangan karena baru kehilangan pekerjaan, katakanlah B. Dan tentu saja bagi seorang yang sudah berkeluarga seperti teman dekat A, persoalan keuangan adalah persoalan serius yang berdampak pada banyak pihak. Meskipun A juga bukan seseorang yang memiliki akses yang mudah terhadap kemapanan finansial (sebuah frasa yang identifikasi dan definisinya sangat tergantung pada realita sosial dan persepsi kolektif sosial dalam menyikapi kepemilikan) tetapi A lebih beruntung karena pekerjaan wiraswastanya sementara ini menjamin aliran masuk pendapatan yang cukup. A memiliki sebidang tanah kosong dari warisan orang tua istrinya yang pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada A oleh istrinya. Dalam upaya membantu teman dekatnya A mengambil keputusan untuk meminjamkan lahan kosong itu untuk usaha B yang akan dijalankan oleh B tanpa dipungut biaya sewa atau penerapan skema bagi hasil.

Sejauh ini kata ikhlas bisa disematkan pada keputusan A karena absennya elemen “maksud tersembunyi” dan “kepentingan pribadi”. Tentu saja kegembiraan terhadap perayaan kata ikhlas masih berlangsung. Pesta perayaannya belum berakhir. Ini lah bentuk keputusan moral tertinggi dimana pelakunya akan dipuja-puja dan kisahnya akan diceritakan dengan disertai kebanggaan kolektifisme sosial di perayaan-perayaan sosial dimana bentuk ideal moral menjadi bintang panggungnya. Tetapi coba perhatikan kelanjutan kisahnya.

Untung bagi B usahanya berjalan lancar. Sedikit demi sedikit lilitan kesulitan finansialnya menjadi longgar meskipun belum bisa menjamin nafas lega (yang sekali lagi identifikasi dan definisinya tergantung pada realita sosial  dan persepsi kolektif sosial dalam menyikapi kepemilikan). Kebutuhan dasar keluarga B setiap bulannya bisa terpenuhi dan B mulai bisa menabung meskipun sedikit. Suatu hari anak B yang baru saja masuk SMA meminta bapaknya untuk membelikannya sebuah produk komunikasi personal elektronik terbaru. Tabungan yang sedikit tersebut akhirnya digunakan untuk membelikan anaknya produk tersebut. Tidak ada perasaan bersalah pada diri B meskipun dia tetap tidak mengeluarkan biaya sepeserpun untuk lahan usahanya yang milik A karena ada persepsi sosial yang tumbuh berkembang di sekitarnya bahwa membahagiakan anak adalah sudah menjadi tugas orang tua.

Ketika elemen “sudah bisa menabung” dan “membelikan produk terbaru” disandingkan dengan metode penggunaan lahan yang dilandasi dengan semangat “keikhlasan” A, perayaan itu sedikit kehilangan keceriaan dan antusiasmenya. Mari kita lanjutkan ceritanya karena kisahnya belum mencapai poinnya karena pembahasannya adalah seputar keikhlasan A.

Meskipun usaha A juga berjalan dengan baik, tetapi tetap saja A membutuhkan modal untuk memajukan usahanya dan bagi A dan keluarganya perkembangan usahanya adalah sesuatu yang penting.  Suatu hari anak A yang belajar di sekolah yang sama dengan anak B, bertemu dengan anak B dan mendapatkan informasi langsung tentang produk komunikasi personal elektronik terbaru milik anak B. Dengan cepat informasi tersebut didengar A dan istrinya. Persepsi nilai sosial yang berbeda antara keluarga A dan B (keluarga A adalah keluarga dengan nilai sosial yang menempatkan penggunaan tabungan hanya pada kepentingan pengembangan usaha bukan pada kosumerisme) mendorong istri A untuk meminta A menemui B dan mulai membicarakan pengenaan biaya sewa atau skema bagi hasil.

Pada poin ini, orang-orang yang merayakan perayaan ikhlas mungkin sedikit terganggu karena ada tamu asing yang masuk dalam perayaan dan mulai berkata lantang tentang realita karena ada unsur kepentingan pribadi yang tentu saja pertama-tama tersembunyi dan tidak terungkap langsung sebagai bentuk pemrosesan kognitif yang mempertimbangkan berbagai ide-ide yang sudah terbentuk sebelumnya.

Bagaimana jika A setelah menemui B dan menyampaikan maksudnya mendapatkan jawaban “Kau tidak ikhlas”. Bagaimana jika Anda adalah A, apa yang Anda akan lakukan? Merasa bersalah karena tidak ikhlas atau merasa bahwa Anda sedang menuntut hak Anda, hak atas kepemilikan lahan istri Anda. Ikut perayaan ikhlas yang  sepertinya berlangsung di langit atau menjadi tamu berisik yang berteriak meminta semua orang yang merayakannya segera turun ke bumi dan memperhatikan wujud yang terikat kausalitas dinamika sosial ?  

(pembahasan lebih jauh dalam wilayah sosial, filsafat dan metafisik deitas ada di bagian 2)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun