Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kejatuhan Mario Teguh, Berakhirnya Era Kejayaan Motivator?

4 Oktober 2016   13:45 Diperbarui: 5 Oktober 2016   16:54 1671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (kompastv)

Bapak Mario Teguh yang terkenal dengan motivasi dan sarannya bisa dikatakan sedang berada di titik kritis karier beliau sebagai akibat krisis internal keluarga yang terbuka lebar ke publik. Keputusan beliau untuk mengundurkan diri dari dunia pertelivisian yang pernah melambungkan beliau menjadi motivator papan atas dengan bayaran selangit di satu sisi bisa dianggap mengejutkan karena terjadi begitu cepat setelah sebuah tayangan televisi tidak dihindarkan memicu kontroversi sosial tetapi di sisi lain bisa dianggap tidak mengejutkan karena intensitas kontroversi yang muncul begitu signifikan dan bisa dipahami setelah mempertimbangkan sifat persoalan yang beliau hadapi (tentu saja akibatnya tidak akan sebesar ini jika kekeliruan sosial itu hanya berupa melanggar lampu merah).

Apakah menjadi tanda berakhirnya masa kejayaan motivator?

Sebenarnya istilah motivator dalam pengertiannya sebagai seseorang yang memberikan motivasi sebagai solusi universal kepada orang lain untuk mengambil keputusan dan melakukan tindakan yang lebih baik bukan istilah yang dikenal baik oleh masyarakat yang terbentuk oleh pemahaman nilai berdasarkan keyakinan agama yang bersifat segmental dimana dalam masyarakat seperti tersebut peran motivator akan dipegang oleh para pemuka-pemuka agama yang, sayangnya, seringkali tidak bisa disebut motivator karena keterikatan mereka untuk menyampaikan doktrin hukuman dan konsekuensi kehilangan legitimasi institusional relijius terhadap tindakan yang dianggap menyimpang .

Sehingga bisa dikatakan ketika masyarakat menerima keberadaan motivator yang bersifat universal lintas agama, masyarakat tersebut sedang mengalami proses pengakomodasian nilai-nilai yang sebelumnya bersifat segmental menjadi universal dalam bingkai kesadaran pluralisme, kesadaran bahwa nilai-nilai dan praktek-praktek kebaikan pada esensinya adalah sama, meskipun dalam wujudnya sebagai doktrin agama mungkin saja berbeda.

Kemudian timbul pertanyaan apakah penyatuan nilai-nilai yang sebelumnya segmental tersebut bisa melepaskan dirinya dari kondisi masyarakat atau dengan kata lain apakah penyatuan nilai yang diwakili keberadaannya oleh kemunculan motivator itu adalah sesuatu yang baru?

Lepas dari pengalaman masyarakat berarti lepas dari keaktualitasan, yang kemudian berarti melambung di awan, transenden, sehingga praktek-praktek pengakomodasian nilai-nilai tersebut harus terikat dengan keharusan untuk tetap berada dalam pengalaman masyarakat untuk mendapatkan dan mempertahankan kepopulerannya.

Kemudian akan muncul hipotesis, ketika masyarakat memilih nilai-nilai pragmatis, pengakomodasian nilai-nilai tersebut dengan sendirinya tidak bisa bersifat spekulatif, akurat, mendalam dan ilmiah dan lebih cenderung bersifat memilih yang mudah dan sederhana saja dengan menggunakan slogan-slogan intuitif yang sudah dikenal luas dan dianggap sudah menjadi kebenaran obyektif oleh publik.

Ciri-cirinya dapat dilihat dengan mudah. Tayangan-tayangan dengan konten motivasi lebih sering menggunakan struktur kebenaran yang mudah dicerna oleh orang umum. Termasuk ketika membahas persoalan metafisik, pembahasan metafisik umum seperti dualisme pemisahan akal dengan hati seringkali dijumpai. Hati seringkali diposisikan memiliki mekanisme yang lebih intuitif dan sempurna sedangkan akal dimaknai sebagai mekanisme yang membutuhkan proses dan tidak murni.

Cinta yang dikampanyekan bukanlah cinta eksistensial dalam wujudnya yang kebaikannya harus didefinisikan bersamaan dengan pemahaman keterikatannya pada kondisi tertentu sebagai konsekuensi dari hubungan kausal. Cinta yang dikampanyekan adalah cinta sejati yang melewati batas eksistensial , cinta yang sempurna. Pendengar diajak untuk menemukan cinta yang sempurna dan, celakanya, dengan sendirinya sang motivator harus menjadi model dari kesempurnaan yang irasional seperti itu. Perlahan tidak disadari sang motivator sudah masuk dalam perangkap klaim kesempurnaan, klaim yang berusaha dihindari oleh para pemikir ilmiah.

Ketika kesempurnaan itu ternyata salah dan tidak ada karena sejauh kebaikan yang bisa ditarik adalah kebaikan dalam wujudnya yang mungkin saja dalam persepsi orang lain dianggap bukan kebaikan, maka sang motivator harus menemukan cara untuk memperbaiki teori konklusifnya dan menerangkan kembali struktur kebenarannya dari awal untuk mencapai keseimbangannya kembali. Sebuah keharusan yang tidak ditanggung oleh para pemikir ilmiah karena sifat penjelasan mereka yang tidak konklusif, dialektik dan eksistensial, terutama terkait dengan pengetahuan perilaku dan pengambilan keputusan.

Jalan lainnya yang bisa ditempuh Bapak Mario Teguh setelah teori kesempurnaan cintanya runtuh dengan kemenangan kesan publik terhadap ide-ide yang selama ini tertanam pada persepsi pikiran mereka adalah melakukan penataan kembali teori-teori dan klaim-klaim kebenaran konklusifnya dan menyampaikannya dalam bentuk yang lebih tertata kembali yang mungkin mengakomodasi di dalamnya elemen-elemen spekulatif yang secara tidak langsung bisa dibaca dari klaim, “hidup tidak sesederhana atau seindah apa yang diomongkan Mario Teguh.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun