Sepulang dari kunjungan di Museum, keponakan saya yang masih belajar di Taman Kanak-Kanak bercerita dengan antusias, “Ada tank yang besar.” Saya tersenyum saja mendengar ceritanya. Sebenarnya yang dia maksud dengan tank itu adalah kendaraan lapis baja angkut personel atau dikenal dengan Armored Personnel Carrier (APC), bukan tank.
Pandangan reduksionistik adalah pandangan yang menggunakan beberapa karakteristik dasar untuk menjelaskan semua varietas atau semua entitas yang bisa muncul dari hubungan antara karakter-karakter dasar itu. Singkat katanya pandangan reduksionistik adalah penyederhanaan fenomena kompleks.
Jika digunakan dalam wacana umum, pandangan reduksionistik tidak akan menjadi persoalan seperti ketika Anda menyebut semua kendaraan lapis baja itu dengan kata “tank” selama berlangsungnya parade militer. Tidak ada keharusan bagi Anda untuk menjelaskan deskripsi lebih jauh sehingga memilah-milah kendaraan tempur itu menjadi tank, APC, atau IFV. Atau bahkan mungkin Anda harus menggunakan pandangan reduksionistik untuk menghindari kebingungan teman di sebelah Anda sehingga kenikmatan menonton parade militer tidak terganggu dengan penjelasan teknis Anda.
Tetapi apakah Anda akan tetap menggunakan pandangan reduksionistik ketika Anda berada di forum diskusi resmi yang membahas pertahanan negara dari sisi pengadaan peralatan tempur? Tentu saja tidak karena jika Anda tetap melakukan hal yang sama, justru yang muncul adalah kebingungan dari peserta diskusi tersebut.
Jika ditelisik lebih cermat, hiruk-pikuk di media sosial belaangan ini karena tulisan singkat seorang penulis novel terkenal yang mempertanyakan peran sosialis, komunis, liberal, aktivis Ham dalam kemerdekaan bangsa Indonesia bisa jadi bersumber pada kecenderungan reduksionistik dalam memahami sosialisme, komunisme, liberalisme dan Hak Asasi Manusia (sebagai gambaran umum masyarakat Indonesai dalam menafsirkan kelompok kata di atas?).
Dalam wilayah sosiologi terutama struktur masyarakat, sosialisme sendiri adalah perwujudan payung besar ideologi kolektifisme yang sering diletakkan berseberangan dengan liberalisme sebagai wujud payung besar ideologi individualisme. Jika dirunut lebih jauh ke hulu dalam wilayah filosofis, pembahasannya akan masuk ke wilayah apakah individu mempengaruhi masyarakat (subyektif-obyektif) atau masyarakat mempengaruhi individu (obyektif-subyektif) seperti yang tercermin dari perdebatan antara Soren Kierkegaard dan Hegel.
Dalam wilayah sistem ekonomi dan politik, sosialisme adalah sistem yang menekankan pentingnya kepemilikan sosial alat-alat produksi dan pengelolaan ekonomi yang kooperatif sedangkan liberalisme adalah sistem yang menekankan sejauh mana kebebasan dan persamaan itu harus didorong untuk mencapai kesejahteraan.
Unit ekonomi koperasi adalah wujud nyata dari semangat sosialisme dimana unit usaha dikuasai bersama, bukan seorang atau beberapa pemodal. Jika Anda menempatkan unit ekonomi koperasi sebagai unit ekonomi yang ideal karena bisa memaksimalkan keuntungan bersama, maka Anda adalah seorang sosialis. Tetapi karena kecenderungan pandangan reduksionistik yang menempatkan sosialisme itu hanya pada hubungannya dengan konsep masyarakat komunis Marxist, mungkin Anda akan khawatir menyebut diri Anda seorang sosialis.
Di sisi lain, masih dalam wilayah ekonomi, jika Anda mendukung peraturan yang menjamin kebebasan berusaha individu dan kesamaan kesempatan maka Anda bisa menyebut diri Anda seorang liberal. Tetapi sekali lagi Anda mungkin khawatir menyebut diri Anda seorang liberal karena sekali lagi pandangan reduksionistik sudah terlanjur memasung liberalisme sebagai hantu dunia barat yang selalu berkawan dengan setan kapitalisme dan mungkin sebagai seorang yang relijius Anda tidak ingin disebut “kebarat-baratan”.
Berbicara komunisme lebih sulit dibandingkan membahas dua payung besar kecenderungan ideologis sosiologis di atas karena, salah satu sebabnya, adalah pengalaman getir bangsa ini terkait gerakan politik komunisme. Singkat kata, komunisme adalah sebuah sistem masyarakat yang tidak mengenal kelas sosial dan pemerintahan yang struktur sosialnya sepenuhnya bergantung pada kepemilikan bersama unit-unit produksi.
Suatu komunitas yang tidak menggunakan sistem kepemilikan unit-unit produksi secara prifat bisa disebut memiliki elemen-elemen masyarakat komunis. Komunitas-komunitas seperti ini masih bisa dijumpai di negara ini terutama di komunitas pedalaman. Tetapi dalam wacana umum mereka tidak akan disebut komunis karena komunisme sudah dipersempit menjadi komunisme Marxist, terutama Marxisme-Leninisme.