Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kebenaran Itu Milik Tuhan!(2)

2 Juli 2014   14:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:51 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1404259557614110783

Sumber: www.shutterstock.com

Artikel sekuel ini saya tulis bukan untuk menjawab artikel mas Ujang yang ditulis untuk menanggapi secara khusus artikel saya sebelumnya karena saya pikir pembahasannya sudah jauh masuk ke ketuhanan dan problematika kemahakuasaanNya itu sendiri (per se). Substansi artikel saya sebelumnya dengan judul yang sama lebih menekankan pada persepsi ketuhanan seperti yang dipahami oleh individu dan pengaruhnya terhadap interaksi sosial (berdialektika) dan substansi artikel sekuel ini tidak beranjak jauh dari wilayah yang sama.

Terima kasih kepada teman-teman kompasianer yang memberikan komentar dan masukkan sehingga saya sendiri pun sedikit terperanjat ketika membaca tulisan saya kembali dan komentar-komentar dibawahnya karena persepsi dan motif tindakan yang bisa muncul dari ungkapan yang mungkin terdengar sederhana dan tidak mengandung problematika ternyata memiliki beragam cabang arah problematika. Dan ketika membaca surat kabar online saya juga menemukan cabang lain (http://www.merdeka.com/khas/kebenaran-hanya-milik-tuhan-marjinal-5.html). Indahnya persepsi dan motif. Tidak lupa saya juga ucapkan terima kasih kepada mas Ujang yang berkenan menulis artikel tanggapannya meskipun saya pikir artikel tersebut justru mengembangkan persepsi ketuhanan ke wilayah pencarian kebenaran obyektif tentang ketuhanan dan kemahaesaannya. Sekiranya ke arah tersebut, tulisan mas AJ tentang berbagai struktur kebenaran obyektif tentang ketuhanan(1) sekiranya bisa menjadi rujukan.

Latar belakang sekuel ini hanyalah obrolan ringan dengan seorang teman kemarin pagi yang begitu "ringannya" sampai-sampai berita Piala Dunia di surat kabar yang saya genggam saya abaikan begitu saja. Dan dari obrolan tersebut saya mencoba menghubungkannya dengan relatifisme(2). Selain itu seingat saya belakangan ini seorang teman kompasianer juga menyampaikan persoalan relatifisme. Sehingga saya merasa tertarik menghubungkan "Kebenaran itu milik Tuhan" dengan problematika relatifisme.

Sekiranya obrolan ringan saya dengan seorang teman itu bisa diringkas dalam sebuah dilematika moral(3) berikut ini.

Katakanlah Anda(4) pernah memiliki seorang kekasih yang Anda sangat sayangi. Karena suatu hal hubungan Anda terpaksa putus. Akhirnya Anda harus menikah dengan orang lain, begitu juga mantan kekasih Anda. Seiring berjalannya waktu, Anda semakin merasa nyaman dengan keberhasilan finansial Anda yang membuat Anda bisa menikmati hal-hal yang jarang bisa dinikmati oleh kebanyakan orang. Sayangnya, suami mantan kekasih Anda harus berjuang menghadapi persoalan-persoalan finansial. Suatu saat Anda tidak sengaja bertemu dengan mantan kekasih Anda dan sebagai seorang yang pernah dekat dengan Anda, dia bercerita kepada Anda bahwa suaminya berhenti kerja dari perusahaan tempat dia bekerja karena krisis finansial dan sudah satu tahun ini suaminya tidak bekerja. Tentu saja waktu satu tahun kehilangan sumber finansial sudah cukup untuk menciptakan persoalan serius dalam keluarganya karena suaminya adalah satu-satunya orang yang bekerja. Beberapa lama Anda menimbang-nimbang persoalan ini dan pada akhirnya Anda memutuskan untuk "mengambil" mantan kekasih Anda itu dengan alasan Anda merasa kasihan dengan keadaannya dan sebagai orang yang pernah dan ternyata masih mencintainya Anda merasa memiliki dasar kebenaran yang kuat untuk melakukan tindakan "ofensif" atas nama cinta. Lagipula kedua anak mantan kekasih Anda yang masih kecil juga menjadi pertimbangan tersendiri bagi Anda sehingga Anda merasa(5) cukup memiliki dasar kebenaran untuk merebut apa yang seharusnya memang milik Anda. Apa yang Anda akan lakukan?

Katakanlah Anda benar-benar bertekat melakukannya, apakah Anda akan mengatakan "kebenaran milik Tuhan" jika ada seseorang yang mencoba menghentikan langkah Anda dan menyampaikan kritik bahwa hal tersebut tidaklah baik bersama dengan latar belakang argumennya yang selain dilandasi oleh nilai-nilai yang diajarkan dalam Agama tetapi juga kebenaran-kebenaran obyektif dari wilayah ilmu sosial. Perhatikan bahwa disini Anda juga memiliki argumentasi yang kuat, selain cinta sendiri tetapi juga anak-anaknya yang masih kecil. Jika dahi Anda berkerut ketika membaca tulisan ini, anggap saja relatifisme adalah sesuatu yang sangat menarik seperti seorang gadis yang bersikap malu-malu kepada Anda, yang misterinya membuat Anda gelisah dan sulit tidur.

Ijinkan saya sejenak masuk ke problematika persepsi kemahakuasaan yang melahirkan konsep relatifisme mutlak(6) dan pengaruhnya terhadap tindakan aktual. Tentu saja jika Tuhan dipersepsikan memiliki kemahakuasaan mutlak yang bisa bergerak ke segala arah, maka kebenaran subyektif bisa disandarkan pada persepsi kemahakuasaan "tanpa arah" seperti itu. Dan yang paling menarik (jika tidak bisa dikatakan memprihatinkan) adalah keleluasaan bergerak ke segala arah dan adanya ruang yang tercipta dari persepsi ketuhanan seperti itu yang menjamin seseorang untuk bergerak leluasa ke segala arah! Bahkan seseorang akan dengan leluasa menegasikan apa yang disampaikan dalam teks-teks sumber relijius dan bukti-bukti wujud Tuhan dalam fakta-fakta historis materialistis dan dengan tanpa ragu-ragu akan berkata "Kebenaran itu milik Tuhan!".

Kembali ke dilematika moral diatas. Saya tidak akan memposisikan diri saya sebagai juru dakwah yang dengan tegas mengatakan mana yang benar dan mana yang salah. Saya memberikan ruang yang luas untuk keberadaan kebenaran subyektif dalam tulisan ini. Saya bisa memahami betapa melelahkannya dikendalikan oleh cinta dan betapa gelisahnya perasaan terbius oleh cinta ketika malam sudah jatuh terlalu larut. Saya tidak anti pati terhadap relatifisme, tetapi adakah bencana sosial yang lebih dahsyat selain hilangnya moral yang diawali dengan ketidakmampuan membedakan mana yang benar dan salah. Landasan moralnya harus terus dipertahankan untuk memelihara tatanan sosial ini. Sampai saat ini bukankah kita masih berkeyakinan bahwa keluarga adalah bagian terpenting dari struktur sosial dan tentu saja kebenaran obyektif yang menyebut bahwa menjaga keluarga adalah sebuah kebaikan akan selalu ada sebagai landasan moralnya.

Jika landasan moralnya sudah dihilangkan dengan menggunakan ruang berlindung di balik kemisterianNya, bukankah hal tersebut sama halnya dengan menegasikan dan mengingkariNya karena Tuhan mewujudkan diriNya dalam bentuk landasan-landasan moral yang dipraktekkan oleh manusia dan diwujudkan dalam tatanan sosial. Dan selanjutnya diwujudkan dalam peraturan dan regulasi mengikat dalam bentuk perundangan oleh lembaga yang dipercaya masyatakat menjaga keteraturan. Jadi Tuhan sebagai kebaikan mewujudkan diriNya pada tatanan yang dikuatkan dengan peraturan dan perundangan pemerintah. Mengapa landasan? Karena jika meliputi semua gerak manusia dan menghilangkan kehendak manusia, bukankah tidak ada ruang untuk membangun wujud dan tanpa wujud bukankah artinya ketiadaan. Dan konsep hukuman dan penghargaan pasti tidak berlaku untuk ketidakadaan dan itulah alasan pentingnya wujud dan mewujudkan wujud untuk mencapai kesejatian.(7) Di atas landasan itulah relatifisme yang terbatasi oleh landasan moral bisa ditemukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun