Tidak lama berselang setelah bom bunuh diri menggoncang kota Brussels, Belgia yang menewaskan 30an warga sipil yang sedang berada di terminal bandara udara dan stasiun kereta api bawah tanah, dunia kembali terhenyak dengan serangan bom bunuh diri yang kali ini meluluhlantakan taman wisata di kota Lahore, Pakistan selama momen perayaan Paskah oleh umat Kristiani.
Memori yang menyesakkan dada tentang tubuh-tubuh warga sipil yang bergeletakkan bersimbah darah di bandara dan stasiun kereta api yang masih segar di ingatan harus dijejali lagi dengan pemandangan sisa-sisa mainan anak-anak yang berserakan di taman diantara bekas-bekas ceceran darah yang sebelumnya, tidak lama sebelumnya, dipegang erat atau dipeluk dalam dekapan tangan-tangan kecil mungil anak-anak yang ikut tewas diantara sekitar 60an (ada sumber yang menyebut sudah mencapai 70) korban meninggal. Apakah terlahir sebagai anak yang memiliki keyakinan agama yang berbeda membuat mereka sudah cukup berdosa untuk menerima kematian tragis seperti ini?
Kritik Richard Dawkins terhadap agama yang menyebut agama melahirkan fanatisme dan sikap pengkafiran seharusnya dipandang sebagai kritik membangun untuk para theis, terutama theis yang masih berkeyakinan terhadap Tuhan yang terlalu personal untuk terus mengkoreksi bagaimana ajaran agama bisa selaras dengan tuntutan kemanusiaan dalam dunia modern. Kritik bahwa agama justru berubah menjadi kekuatan pemisah antara “pihak dalam (beriman)” dan “pihak luar (kafir)” yang menjadi sumber abadi permusuhan dan konflik berkepanjangan setidaknya menjadi cubitan (atau tamparan) bagi kemapanan keyakinan relijius yang bersandar pada dualisme tersebut. Bukan justru sibuk mempertahankan diri dengan mencoba membuktikan keberadaan Tuhan dengan membawaNya ke wilayah aktualitas empiris.
Teringat seorang teman yang menganggap menyebarkan keyakinan relijiusnya sebagai kewajiban mutlak yang harus dilakukan di semua tempat, dalam semua kondisi dan situasi. Teman ini sering mengatakan bahwa surga hanya untuk kaum yang seagama dengannya saja. Pada suatu kesempatan ada teman yang beragama lain sangat marah karena urusan surga ini. “Setidaknya dia harus belajar dulu cara menghormati orang lain sebelum mulai menceramahi orang lain,” kata teman yang beragama lain ini, jengkel. Tidak urung kejadian ini menyeret semua yang hadir di sana ke dalam ruang dialektika yang meresahkan karena benturan antara aktualitas pemenuhan kebutuhan untuk menjaga kemanusiaan dengan doktrin agama yang tercermin dalam ucapan lirih seorang teman yang hadir di sana yang lebih ditujukkan pada dirinya sendiri “Tapi memang seperti itu surga yang disebut dalam agama kita”.
Agama atau kemanusiaan? Apa artinya agama tanpa kemanusiaan? Apakah surga membukakan pintunya untuk orang-orang yang perlahan kehilangan rasa kemanusiaannya seiring kehilangannya atas penghormatan terhadap orang lain? Apakah ada tempat di surga untuk pelaku bom bunuh diri yang membuat mainan-mainan yang berserakan itu kehilangan pemiliknya?
Heidegger dalam Letter on Humanism menyebut bahwa kemuliaan dalam kemanusiaan harus berada dalam pemikiran. Bukan pemikiran yang sudah “tercemari” oleh kausalitas, tetapi pemikiran awal yang membuat manusia menjadi manusia, yang membuat manusia dengan agama A sama dengan manusia dengan agama B karena kemanusiaannya. Dengan pemikiran ini manusia akan menemukan kebenaran melalui proses pencarian, apapun agamanya sehingga dia akan menemukan esensi “menjadi manusia” dan tinggal di dalamnya dalam eksistensinya.
Dalam kemuliaan kemanusiaan itu lah seseorang akan menemukan surga imanen dan pencapaian ini lah yang akan mengantarnya melewati pintu surga transenden.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI