Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Antara Sistem dan Tuhan (Bagian 2)

13 November 2014   22:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:52 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sambungan dari http://filsafat.kompasiana.com/2014/10/14/antara-sistem-dan-tuhan-695417.html

Sejenak aku merenungi ucapan Arief. Begitu kuatnya hampir seperti Tuhan. Ya sistem ini ,atau lebih tepatnya sistem ekonomi ini memang kuat. …..Tetapi apa itu sesuatu yang tidak baik? Bukankah perbaikan struktur bangunan di setiap rumah di perkampungan ini serta perbaikan kelengkapan penunjang hidup seperti alat transportasi dan media hiburan adalah wujud dari sentuhan sistem itu, sistem yang kuat yang justru disebut sebagai sistem yang mencekik oleh para penentangnya. Sentuhan oleh tangan kuat yang tidak terlihat(1).

“Pulang ya?” tiba-tiba lamunanku buyar oleh sapaan yang akrab di telinga kami.

“Iya pak.” jawab kami hampir bersamaan.

“Nih untuk kalian. Rasa-rasanya siang ini begitu panas.” ucap si penyapa sambil melempar pelan dua buah jeruk yang lumayan besar.

“Terima kasih pak. Hmmmm….Anita masih ikut kegiatan OSIS.” kata Arief, tersenyum sedangkan tangannya sibuk menangkap jeruk.

“Iya nggak apa-apa” timpal bapak yang menyapa kami.

…………………..

“Pak Setyo baik hati ya Rief. Ada saja yang selalu diberi pada kita.” kataku pelan sambil tetap menatap ke depan setelah kami belok dari rumah sederhana pak Setyo yang persis di pojok jalan kampung. Belokan yang langsung turun menuju ke jembatan pembatas kampung ini dengan pemukiman di seberangnya.

“Iya….beliau memang baik” katanya lirih.

Pak Setyo…. seorang pedagang buah berusia paruh baya yang menjual buahnya dengan membawa pick up sederhana, berkeliling kota. Kadang kalau buahnya tidak begitu laku, pak Setyo harus berjualan sampai agak malam. Untung dari menjual buah itu pun tidak seberapa. Maksudku jika dibandingkan dengan penghasilan ayahnya Arief. Bumi dan langit. Tapi pak Setyo seperti menikmati hidup ini. Bekerja karena menikmatinya dan mensyukuri berapa pun yang beliau peroleh. Ya…mensyukuri, itu lah pelajaran yang kami peroleh dari beliau. Kami tahu sedikit banyak tentang beliau karena Anita, anaknya, adalah teman sekelas kami. Seorang siswa yang pintar dan cerdas meskipun dalam pengertian kebanyakan. Tetapi biarpun Arief pada beberapa kesempatan mengatakan kalau Anita itu pintar karena dia tekun dan rajin belajar, akhir-akhir ini temanku ini sering menatapnya diam-diam dan senyumnya tadi kepada ayahnya terlihat kikuk. Aku tersenyum sendiri membayangkan sikap Arief kepada Pak Setyo akhir-akhir ini, sikap yang tidak wajar.

“Kenapa kau?” tanya Arief ketika kami tiba di jembatan pembatas yang menghubungkan kampung ini dengan pemukiman kami. Jembatan besi tua yang sudah disentuh warna karat itu dikelilingi oleh pohon-pohon tua yang menjulang tinggi, seperti penjaga setianya yang selain menjaganya juga memberi keteduhan bagi siapa pun yang melintasinya dan tentu saja tempat ini menjadi tempat favorit kami beristirahat dari teriknya matahari.

“Kenapa? ah nggak apa-apa…” jawabku singkat. “Sungai ini sebenarnya tidak lebar ya Rief. Tapi kedua tepiannya yang semakin lebar. Gersang dan kosong.” kataku sambil menatap ke kejauhan menyusuri tepian sungai.

“Ya seperti no mans land(2)” jawab Arief.

“Ya seperti itu tapi tentu saja tanpa kengerian.”

“Tanpa kengerian? Justru ini yang mengerikan dan menyedihkan.”

“Menyedihkan?”

“Coba kau lihat lagi apa yang berada di dua sisinya. Ini sudah mengusikku sejak lama.”

“Ah kau…mungkin ini sudah takdir.”

“Takdir? Apa yang kau maksud dengan takdir? Sesuatu yang tidak bisa kita rubah? Seperti itu?”

“Sudahlah ayo…hari sudah semakin siang”

Kami pun meneruskan perjalanan pulang kami. Kini jalannya menanjak. Cukup membuat kami berkeringat. Dan kulirik Arief mulai mengupas jeruknya dan menikmati kesegarannya.

“Pintu ini tidak dikunci.” kataku setelah tiba di depan pintu belakang kompleks perumahan kami.

“Ya. Baru setelah lepas maghrib. Pintu ini akan dikunci oleh penjaga kompleks. Jadi apa harus seperti ini. Lihat apa harus dipagari seperti ini. Ini yang kau sebut takdir. Dan tembok ini bagian dari takdir itu yang sekali berdiri tidak bisa dirobohkan?”

Aku hanya diam sambil membuka pintu dan memandang sekeliling kompleks pemukiman kami yang sangat luas, dikelilingi oleh tembok yang cukup tinggi. Demi keamanan kilah pengurus. Dan kata ayahku memang wajar jika kompleks perumahan mewah seperti ini dikelilingi oleh tembok. Memang harus seperti itu, kilah ayah mengiyakan pendapat pengurus kompleks, beda dengan perkampungan di seberangnya yang dipagari oleh semak-semak. Aku menjadi bingung. Apa harus seperti ini?

“Katakanlah jika ini memang takdir.” kata Arief sambil menatapku.

“Maksudku…..ini seperti orang menyelam.” jawabku.

“Orang menyelam?”

“Ya…maksudku jika kau menyelam kau harus tahan nafas. Ya….ya ini seperti itu. Menyelam…menahan nafas. Jika orang-orang mulai membangun pabrik-pabrik yang menjulang tinggi, jika sistem ekonomi sudah bertopang pada sistem ekonomi modern beserta organ-organ vitalnya, memang akan seperti ini. Ini lah yang disebut takdir. Ini lah campur tangan Tuhan. Campur tangan yang bisa dijelaskan”

“Dan katakanlah apa pandangan seperti itu pandangan optimis?”

“Maksudmu?”

“Ya…. pandangan bahwa jika ini itu mulai dibangun, maka akibatnya akan ini, selalu hanya ini, tidak ada yang lain. Bukankah itu pandangan pesimis(3). Katakanlah bagaimana pandangan seperti itu bisa disebut pandangan optimis?”

“Lebih tepatnya realistis.”

“Dan apakah yang realistis itu berdiri sendiri? Apakah yang realistis itu tidak terdefinisi oleh doktrin? Apakah realita ini tidak dipelihara? Atau apakah tidak ada niat untuk memelihara realita ini karena menguntungkan si pemelihara dan si penyokong? Dan setelah itu semua apakah tetap kau berkata kalau ini wujud Tuhan yang bisa dijelaskan melalui hubungan sebab akibat?”

“Ya aku bisa mengerti itu. Tapi pola hubungan itu pasti ada dan sulit untuk disangkal, Pola yang dipelajari di gedung-gedung perkuliahan. Pola yang terus mendapat perhatian oleh pakar dan peneliti. Pola yang terus diteliti. Di dalam pola itulah Tuhan menunjukan citraNya”(4)

“Disitu lah….disitu lah intinya. Takdir itu harus kita cari terus. Kalau memang sekarang seperti ini ya memang seperti ini. Siapa yang bisa ingkar kalau tembok itu sudah berdiri. Siapa yang bisa ingkar bahwa yang menang dalam rapat pembangunannya adalah pihak yang menyokong pembangunannya. Tidak ada yang bisa ingkar. Tetapi masa depan ada di tangan kita….itu maksudku dengan takdir. Itu maksudku dengan optimis”

Aku hanya diam saja. Selain memang masih banyak pertanyaan yang membingungkan, Aku kenal betul dengan Arief dan pandangannya. Revolusioner. Sejak dia mengenal teman-teman kakaknya yang aktifis kampus, pandangannya berubah revolusioner. Ironis memang, seorang anak dari pengusaha terkaya di kompleks perumahan ini memiliki pandangan seperti itu. Tapi ayahnya memang seorang yang baik, berkarakter dan memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk menggali ilmu sedalam-dalamnya. Konon, karyawan yang bekerja di pabrik ayahnya termasuk karyawan yang tidak pernah melakukan demonstrasi, bukan karena ketakutan tetapi karena sistem kebijakan ayahnya menempatkan mereka pada sistem yang menghargai kemanusiaan. Tetapi tetap saja sebuah ironi.

“Itu lah takdir….Seperti yang aku katakan kepada ayahku. Itu lah takdir.” kata Arief pelan.

Aku hanya mengangguk kecil. Tiba-tiba aku ingat lagu kesukaanku dan bergumam lirih menyanyikan penggalan liriknya,

I may never find all the answers

I may never understand why

I may never prove

What I know to be true

But I know that I still have to try

Arief menoleh dan tersenyum dan seperti biasanya kami bersama-sama menyanyikan bagian selanjutannya sambil berteriak …..

If I die tomorrow

I'd be alright

Because I believe

That after we're gone

The spirit carries on(5)

Aku hanya tersenyum dalam hati ketika seorang gadis cantik yang mengendarai mobilnya yang keluaran tahun ini lewat dan bengong melihat kami. Dan seperti biasanya senyuman Arief adalah senyuman menggoda.

“Dia pikir kita gila.” katanya.

“Dan kau pikir kita waras?”

“Kewarasan dia belum tentu kewarasan kita. Tapi kalau kewarasan dia mewakili kewarasan orang banyak berarti memang kewarasan kita patut dipertanyakan. Tetapi jangan khawatir yang mempertanyakan itu masih sebatas manusia, bukan Tuhan…hehehehehe.”

“Memang aku tampak khawatir? Aku sudah tahu resiko berteman denganmu.”

“Hahahahahaha…..sudah ah setidaknya untuk aku masih ada kau yang menganggap aku waras dan sebaliknya. Sampai bertemu besok.” ucapnya bercanda sambil menepuk bahuku. Di persimpangan ini kami harus berpisah. Rumahnya jelas terlihat dari sini, rumah yang paling besar.

…………………..

Tidak jauh lagi aku tiba di rumahku. Tiba-tiba teringat mobil keluaran tahun ini dan gadis cantik didalamnya. Teringat apa yang aku tidak sengaja dengar pagi tadi.

“Anak-anak sudah besar. Apa salahnya aku membelikan mereka mobil?”

“Nggak salah Mas. Mas jangan salah paham. Tapi….tapi…”

“Tapi apa Rat? Kalau memang seperti itu caranya apa cara itu salah?”.

“Maksudku….selain kita sudah punya dua mobil yang juga masih tergolong baru maksudku…..hmmmm maksudku mas harus menjadi panutan anak-anak kita kan? Selain itu bukankah almarhum ayah dan ibu mas sendiri berulang kali berpesan untuk selalu menjaga nama baik keluarga”

“Pfuh…..ceramah itu lagi….itu lagi….males ah. Kalau tidak ada yang tahu, nama keluarga kita kan baik-baik saja. Begitu saja kok repot. Sudah….mobil itu sudah aku beli. Terserah mau dipakai atau tidak.”

Ratih adalah nama ibuku. Nama yang sederhana seperti penampilan ibuku yang sederhana. Kakekku menyebutnya “tidak neko-neko”. Penggambaran sederhana yang artinya menjadi semakin tidak sederhana seiring bertambahnya usiaku..….tidak pernah sesederhana yang dibilang kakek.

Setiba di rumah mewah yang bagian depannya tampak menjulang tinggi. Aku justru merasa haus….haus sekali. Sambil duduk begitu saja di depan rumah itu, di bawah pohon jambu air, sambil tersenyum aku melihat jeruk pemberian pak Setyo. Sejenak tanganku sibuk mengupas kulitnya…Di benakku muncul pak Setyo dan……..Anita. Tiba-tiba terasa ada desir halus di hatiku. Tidak…tidak….tidak boleh. Sial mengapa harus Anita. Setelah selesai mengupasnya, begitu saja aku melahap jeruk itu bukan saja karena dahaga ini tetapi juga harapan semoga rasa manis jeruk ini bisa mengusir desir itu.

“Lho kok kamu nggak masuk le?”(6) tiba-tiba seseorang bertanya membuyarkan pikiranku yang kusut.

Tampak seorang perempuan paruh baya yang wajahnya mulai dihiasi keriput dengan pakaian sederhanannya, berdiri di sampingku.

“Ibu?”

Keterangan:

(1) Invisible hand adalah istilah yang dikemukakan oleh Adam Smith pertama kali pada tulisannya berjudul The Theory of Moral Sentiments. Istilah ini menjelaskan sifat pengaturan diri sendiri yang dimiliki oleh pasar. Pemaksimalan keuntungan pada akhirnya akan menguntungkan masyarakat luas meskipun tujuannya adalah pemaksimalan keuntungan pribadi. “The rich...are led by an invisible hand to make nearly the same distribution of the necessaries of life, which would have been made, had the earth been divided into equal portions among all its inhabitants, and thus without intending it, without knowing it, advance the interest of the society...”

(2) No mans land adalah istilah untuk wilayah yang diperebutkan oleh dua pasukan yang berseteru. Istilah ini melekat pada PD I dimana wilayah yang terdapat di antara dua struktur parit menjadi ajang pertempuran yang mengerikan.

(3) Jika Karl Marx menyampaikan pandangan yang optimis terkait perjuangan kelas kaum proletariat, Max Hokheimer meskipun mengakui arti penting kelas pekerja, tetapi dia menganggap keberhasilan perjuangan tersebut cukup sulit karena sistem yang dibentuk oleh kapitalisme dengan sendirinya merintangi mereka mewujudkannya, membuatnya disebut memiliki pandangan pesimis.

(4) Masih seputar perdebatan antara determinisime dan free will serta kompatibilisme sebagai jalan tengah.

(5) Lagu hit dari Dream Theater, sebuah kelompok progresif rock. Dengan komposisi yang apik, dimulai dengan ketukan yang pelan dan mencapai klimaksnya pada permainan solo gitar dan ditutup dengan anti klimaks suara piano yang hening menyayat, komposisi musiknya berhasil mewakili lirik lagu yang bercerita tentang perjalanan pencarian arti kehidupan.

(6) le dari kata bahasa Jawa thole yang artinya “nak”, panggilan untuk anak laki-laki.

(Kisah diatas seperti biasanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama pasti murni ketidaksengajaan. Terimakasih kepada teman-teman kompasianer yang memberikan komentar pada bagian pertama sehingga bagian kedua menjadi lumayan panjang. Tentu saja tulisan ini didasari dengan konsep ketuhanan menimbang judul dan wilayah pembahasannya. Keterangan diberikan dengan maksud untuk memberikan akses terhadap penelusuran lebih jauh. Kritik dan saran serta tulisan untuk mengelaborasi tulisan ini mendapatkan apresiasi dari penulis. Salam)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun