Kita tidak akan menyangkal pernyataan bahwa benar sekarang sedang hujan ketika faktanya menunjukkan bahwa saat ini sedang hujan. Hubungan langsung ini disebut dengan konsep kebenaran korespondensi.
Lalu bagaimana jika ada sebuah kotak di depan kita dengan tulisan merek alat elektronik terkenal? Apakah kita bisa menyimpulkan bahwa benar di dalamnya ada alat elektronik bermerk seperti yang tertulis pada kotak? Di sinilah pengikut kebenaran koheren mengklaim bisa menemukan kebenarannya melalui perangkaian fakta-fakta penunjang.
Tetapi tentu saja, dari contoh pertama dan contoh kedua, kerumitan pembuktiannya pasti akan terletak pada konsep kebenaran yang kedua. Sehingga, kerumitan itu adalah fakta juga yang tidak bisa disangkal dengan menggunakan alternatif lain.
Kembali ke kasus Jessica. Bagaimana hakim harus bertindak? Apakah bijaksana jika hakim mengabaikan semua fakta-fakta di pengadilan baik yang disampaikan oleh JPU atau pengacara untuk mencari kesederhanaan yang diklaim akurat melalui intuisi? Tentu saja jika intuisi itu akurat hakim tidak perlu bersusah payah mendengarkan keterangan saksi ahli sampai larut malam.
Dengan kata lain, persidangan Jessica bukanlah wilayah metafisik dan semua keputusan yang diambil adalah hasil dari penafsiran serangkaian fakta-fakta empiris seperti yang bisa dibaca dari tuntutan JPU yang “hanya” 20 tahun. Sehingga menyamakan kerumitan kasus Jessica ini dengan kerumitan klaim metafisik yang tercermin dari berbagai macam klaim agama yang membutuhkan penalaran koheren rasional metafisik adalah sebuah kekonyolan. Kasus Jessica bukanlah kasus klaim sektarian. Kasus Jessica adalah kasus empiris dan sepatutnya dan sudah menjadi sifat kebenarannya diperlakukan secara empiris juga.