Analogi seperti keyakinan bahwa di dalam lemari es yang ada di depan kita terdapat makanan meskipun visibilitasnya tidak ada tidak bisa disamakan dengan keyakinan terhadap ada atau tidak adanya entitas transendental (Tuhan).
Keyakinan bahwa ada makanan di dalam lemari es , seperti keyakinan bahwa makanan yang dijual di sebuah restauran adalah bersih dan layak saji. sangat dipengaruhi oleh pengalaman empiris. Jika dalam sepuluh kesempatan membuka lemari es tidak terdapat makanan, atau jika dalam sepuluh kesempatan mencicipi makanan di sebuah restauran ternyata makanannya tidak bersih dan layak saji, maka pengalaman empiris akan mengatakan bahwa keyakinan tidak ada makanan dan keyakinan makanan tidak bersih dan tidak layak saji lah yang memiliki kebenaran, bukan sebaliknya.
Sekali lagi menganalogikan keyakinan yang muncul karena pengalaman empiris dengan keyakinan akan entitas transendental bersama dengan bentuk-bentuk realitanya adalah sebuah ketidakpantasan karena masing-masing berada di wilayah berbeda.
Theis biasanya mencoba menyelesaikan problematika yang muncul dari penolakkan validitas kebenaran dengan menggunakan metodologi seperti di atas dengan memberikan klaim-klaim keberadaan atau jejak-jejak keberadaan entitas transendental dengan bukti-bukti empiris seperti terdapat di obyek-obyek alam.
Tetapi apakah upaya tersebut disertai dengan kesadaran penuh bahwa upaya tersebut justru memasukkan entitas transendental ke dalam ikatan-ikatan ruang dan waktu? Sekiranya tidak ada keyakinan theistik yang mengklaim bahwa keberadaan entitas transendental bisa dialami secara empiris oleh manusia terutama keyakinan yang bersandar pada ciri omnipresent (ada dimana-mana).
Keimanan terhadap keberadaan entitas transendental atau Tuhan dalam kasus theisme seharusnya ditempatkan pada wilayah yang semestinya, sehingga tidak ada praktek-praktek merendahkan atau melecehkan yang tentu saja bukan bagian dari ajaran moral yang diyakini oleh theis. Â
Keterangan:
1. Artikel ini murni artikel filsafat. Pendapat dan komentar sebaiknya tidak membawa keyakinan agama.
2. Konsep Kant tentang agama sangat menarik. Pada awalnya dituduh sebagai anti-agama, justru belakangan  filosofi Kantian dianggap memberikan makna yang pantas untuk keimanan. Bisa lebih jauh dibaca di Critique of Pure reason and Religion in the Boundaries of Mere Reasons.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H