Keimanan memegang peranan penting dalam keberadaan theis untuk memahami bagaimana kehidupan ini seharusnya berjalan di bawah kendali Tuhan. Konsep-konsep moral theistik mengalir dari hulu “keimanan” yang sering diwujudkan dengan penegasan posisi Tuhan dalam menentukan mana yang baik dan mana yang benar.
Tidak seperti pandangan deistik (atau tentu saja atheistik), konstruksi moral theistik akan bersandar pada kejelasan posisi Tuhan dalam menentukan konsep moral. Ini lah yang menjadi alasan mengapa theis cenderung berpegang teguh pada teks-teks yang didefinisikan sebagai “kesucian hulu”.
Dari kebutuhan akan kejelasan sebagai permulaan penalaran (dengan asumsi bahwa klaim kebenaran tidak bisa lepas dari penalaran), tidak lah mengherankan jika metode yang digunakan adalah metode deduktif atau proses berpikir yang mencoba menjelaskan satu acuan prinsip umum dengan memunculkan berbagai macam contoh-contoh khusus.
“Pengembaraan dialektik” yang biasanya akrab dengan metode induktif biasanya tidak bisa dilabelkan pada theis yang baik atau orang beriman dalam cakupan penjelasan di atas. Pengguna metode peripatetik atau berjalan dari satu tempat ke tempat lain tidak akan masuk dalam kategori beriman dan biasanya akan direndahkan ke dalam kategori orang “kebingungan”.
Apakah kebutuhan untuk menegaskan kebenaran hulu yang biasanya diipahami melalui pendekatan literal universal akan selalu memunculkan kecenderungan terbentuknya klaim kebenaran mutlak yang lebih jauh akan mengarah ke terbentuknya sikap merendahkan (jika tidak melecehkan) menjadi pertanyaan yang menarik untuk di jawab terutama dari sisi teori kebutuhan Maslow dalam wilayah subyektif, terutama pada tingkat kebutuhan penghargaan diri.
Jika memang benar ada hubungannya, pemaparan hubungan itu akan menjelaskan kecenderungan orang theis yang mau tidak mau dengan sendirinya menciptakan kebutuhan untuk diakui beriman sebagai bentuk kemelekatannya pada klaim kebenaran hulu untuk melakukan perendahan dan pelecehan terhadap metode-metode penafsiran kebenaran yang berbeda. Tetapi hal tersebut memerlukan ruang dan waktu tersendiri.
Dengan tesis bahwa tidak ada sesuatu pun yang lepas dari pengalaman, maka bisa diambil hipotesis awal bahwa penalaran (apa pun bentuknya, deduktif atau induktif) terhadap kebenaran hulu yang biasanya berupa teks-teks yang disucikan serta kisah perjalanan hidup figur-figur yang dari diri mereka mengalir kebenaran-kebenaran dari sumber transendental tidak bisa lepas dari pengalaman.
Jika yang sebaliknya adalah benar, berarti tidak ada pengalaman. Ketidakadaan pengalaman akan masuk ke konsep fatalistik, semuanya sudah diatur oleh sumber transendental yang berperan sangat aktif. Bahkan keputusan yang diambil berdasarkan pengalaman empirispun akan ternegasikan karena penghapusan kehendak. Konsep seperti ini tentu dengan sendirinya akan menyangkal konsep pemberian hadiah dan hukuman yang mendominasi pandangan agama theistik. Sebuah paradoks.
Menurut Kant dalam konstruksi kebenarannya, manusia tidak mungkin memiliki pengetahuan di luar pengalaman. Jika Tuhan adalah di luar pengalaman manusia maka manusia tidak mungkin akan bisa memahamiNya atau realita transendental di luar ruang dan waktu.
Dengan dalil di atas, klaim mengenai apa yang dikehendaki oleh Tuhan untuk kehidupan yang terikat dengan ruang dan waktu dengan sendirinya akan masuk dalam kategori pengalaman empiris beserta penalaran logisnya. Dan yang sebaliknya adalah berusaha menjadi dan bertindak sebagai Tuhan, atau menyentuh apa yang disebut Kant dengan ens reallisimum, berkumpulnya semua predikat atau akhir dari realita. Sebuah kemustahilan(?)
Keyakinan kepada entitas transendental tentu saja harus diletakkan pada posisi yang sebenarnya. Karena yang transendental adalah di luar pengalaman, maka menganalogikan keyakinan terhadap entitas transendent al dengan entitas empiris adalah ketidakpantasan metodologi dalam memahami entitas transendental.