Tidaklah berlebihan jika disampaikan di sini bahwa kasus Angeline menyita perhatian nasional. Intensitas ketragisan dan ketidakmasukakalan dalam kerangka rumah kemanusiaan membuat kasus ini memiliki kekuatan “bencana” yang sangat kuat diantara kasus-kasus kontemporer lain baik dalam skala nasional dan internasional sehingga setiap individu yang menyebut dirinya manusia pasti merasa terhenyak dan mengalami kegoncangan kemanusiaan. Begitu dahsyatnya kegoncangan itu sehingga muncul wacana hukuman mati bagi pelaku. Dan respon eksistensial seperti itu memang sudah selayaknya dan sepatutnya muncul dari sebuah budaya yang mengutuk segala tindakan kekerasan pada anak kecil, apalagi kekerasan seksual terhadap anak kecil yang berujung kematian.
Banyak orang berpendapat bagi pelaku “bencana” kemanusiaan seperti itu, hukuman mati adalah hukuman setimpal. Yang menarik, semangat validasi publik untuk penetapan hukuman mati dalam kasus ini sebenarnya sudah bergeser dari hukuman mati yang dilaksanakan terhadap para pengedar narkoba beberapa waktu silam. Jika pada waktu silam terkait ketetapan hukum untuk kasus-kasus besar narkoba semangatnya berupa semangat komposit yang terdiri dari beberapa elemen, semangat menjatuhkan hukuman mati untuk kasus Angeline ini berasal dari satu hulu yang sama, kegeraman. Kegeraman yang memuncak sampai pada titik dimana dialektika hukuman mati seakan-akan kehilangan validasi kebenaran sosialnya. Dan keadilan eksistensial bisa dan sangat mungkin muncul dan tumbuh dari kegeraman dan kemuakkan sosial.
Manusia tidak bisa lepas dari eksistensinya. Sebagai wujudnya manusia mendambakan keadilan yang memuaskan cita rasa keadilan mereka. Apalah artinya keadilan yang diklaim (oleh sebagian pihak yang menamakan diri mereka para pembela kemanusiaan dan hak-hak dasar manusia) adalah keadilan esensial jika keadilan esensial tersebut tidak berada pada halaman rumah sebuah kelompok sosial atau bahkan tidak pernah ada di halaman-halaman rumah kelompok-kelompok sosial lainnya. Tidaklah berlebihan jika disebut bahwa keadilan seperti itu adalah keadilan yang digantung di langit dan dipuja-puja dalam balutan romantisme oleh kelompok-kelompok pemuja kemanusiaan esensial yang menegasikan eksistensi sosial. Para relatifis yang tidak memiliki dasar struktur kebenaran eksistensial, yang suka berkelana dalam romantisme kabut mistis metafisik, yang mencintai metafisik tanpa dasar.
Bagaimana jika pelaku sudah tobat, bukankah Tuhan akan selalu mengampuni orang yang tobat dan mengakui kesalahannya? Pertanyaan seperti ini sering muncul dan menjadi kekuatan pembenaran para relatifis, terutama relatifis “relijius”. Tidak ada pembenaran yang lebih kuat dari sumber-sumber persepsi ketuhanan libertarian yang memberikan akses untuk bergerak ke segala arah dengan meminjam (atau bersembunyi dibalik) kemahakuasaan deitas. Kemahakuasaan deitas dijadikan alasan bahwa segala bentuk realita eksistensial dan tatanan hukum sebagai perwujudannya tidak bisa dijadikan acuan kebenaran.
Kebenaran empirik materialis dalam bentuk tuntutan sosial hukuman mati bagi pelaku bencana kemanusiaan seperti kasus Angeline dianggap bukanlah kebenaran karena berlawanan dengan konsep kemahakuasaan deitas yang menurunkan persepsi penyelamatan yang didengung-dengungkan dalam kampanye pertobatan. Sebuah nihilisme. Jika yang benar adalah kebenaran metafisik deitas yang diwakili oleh doktrin pertobatan maka tentu saja kebenaran materialis tuntutan hukuman mati menjadi salah atau keliru dalam pengertian metafisik. Jadi realita menjadi tidak memiliki kebenaran yang melekat padanya atau kebenaran inheren sosial sebagai perwujudan esensi terikat/kuiditas yang selanjutnya terwujud dalam eksistensi sosial. Jika kebenaran metafisik yang dikampanyekan oleh para pendukung kemanusiaan non-eksistensial relatifistik-metaetik ini bertentangan dengan realita sosial berarti realita sosial tidak memiliki kebenaran, alias nihil. Jika konsep pertobatan sebagai kepanjangan tangan konsep besar penyelamatan itu benar jadi realita sosial yang diwakili tatanan hukum yang masih menerapkan hukuman mati menjadi salah. Karena tidak mungkin ada dua entitas yang bertentangan sama-sama benar, kecuali kita terpaksa membenarkan relatifisme metaetik.
Publik menuntut hukuman mati sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kehendak yang perwujudannya menciptakan bencana kamanusiaan seperti kasus Angeline, sebuah hukuman tanpa “terpengaruh” adanya tindakan pertobatan atau tidak dan itulah semangat keadilan deitas dalam eksistensi manusia. Jika kebenaran deitas bertentangan dengan eksistensi manusia sebagai upaya mewujudkan esensi kemanusiaan, kebenaran deitas itu pasti bukan untuk manusia tetapi untuk model lainnya. Dan tentu saja tidak sepatutnya manusia menghabiskan energi mengkampanyekan persepsi kebenaran deitas untuk model lain, yang lepas dari dan bertentangan dengan realitas eksistensial.
Sudah sepatutnya hukuman mati diberikan pada para pelaku bencana kemanusiaan karena kemanusiaan dalam diri manusia mengatakan seperti itu. Dan Tuhan tidak akan menentang kemanusiaan dalam diri manusia sebagai wujudnya karena adanya manusia adalah kepanjangan adanya Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H