Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apakah “Tuhan” Bisa Membusuk? (Sebuah Tinjauan Awal Filsafat Theis)

3 September 2014   15:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:44 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Spanduk bertuliskan TUHAN MEMBUSUK yang ditampilkan selama ospek di salah satu perguruan tinggi agama negeri di Surabaya tidak urung membuat polemik di masyarakat. Slogan ini menuai kritik dan hujatan dimana-mana karena maknanya yang dianggap menghujat Tuhan.

Apakah benar Tuhan bisa membusuk? Jalan masuk untuk memahami polemik ini sebenarnya sangat sederhana sekali jika dimulai dari dualisme noumena-fenomena. Kantian(1). Noumena adalah obyek itu sendiri yang dikenali (jika bisa) tanpa menggunakan indera sedangkan fenomena adalah apa yang muncul karena penggunaan indera atau obyek sebagai hasil indera atau singkatnya obyek sebagai wujud persepsi.

Dalam dualisme ini Immanuel Kant mencoba membuat garis tegas antara obyek itu sendiri dengan obyek sebagai wujud persepsi. Kemudian istilah ding an sich atau obyek per se sering digunakan dalam wilayah filsafat untuk mewakili noumena.

Kembali lagi ke slogan yang menjadi obyek polemik. Dari sudut pandang Kantian ini jelas bahwa yang dimaksud “tuhan” disini bukan lah Tuhan itu sendiri, atau Tuhan an sich atau Tuhan per se tetapi persepsi yang muncul (fenomena). Dari sudut pandang ini terlihat muncul keleluasaan ruang untuk berdialektika. Dan ketuhanan dari sisi fenomena inilah yang menjadi obyek menarik untuk didiskusikan dengan hangat di forum-forum filsafat, salah satunya di kolom filsafat di sini.

Ditarik lebih jauh, dari sisi fenomena, slogan “tuhan membusuk” disini bisa dipahami sebagai konsep ketuhanan yang bermasalah atau berpotensi menjadi masalah. Kenapa bermasalah? Karena membusuk disini menyampaikan konotasi negatif seperti pada kalimat “buah membusuk” Dan tentu saja dari uraian pendahuluan di atas bisa disimpulkan bahwa yang bermasalah itu adalah persepsi tentang Tuhan atau persepsi ketuhanan yang tentu saja tidak lepas dari pengaruh pengalaman empiris posteriori yang melekat pada perkembangan individu dan pembentukan persepsi.

Lebih jauh, ketuhanan sebagai keyakinan metafisik sering dipahami dalam wilayah sempit empirik yang menegasikan penelusuran lebih jauh melalui pendekatan-pendekatan rasionalisme(2). Persoalan teologis seperti terkandung dalam kalimat “Tuhan akan marah jika kamu nakal” yang sering kita dengar dalam bentuk nasehat kepada anak yang menampilkan persepsi ketuhanan yang sangat personal dan emosional atau “Tuhan pemaaf dan pasti Tuhan memaafkan dan memaklumi tindakanku” sebagai wujud upaya untuk merelatifkan landasan moral seperti bisa ditemui dalam kasus tindakan korup demi kepentingan keluarga tentu saja sulit untuk diingkari bukan sebagai wujud persoalan.

Pendekatan kebenaran korespondensif(3) yang dominan digunakan untuk memunculkan persepsi semakin menguatkan penggunaan pendekatan empirik dalam wilayah metafisik, sebuah pendekatan instan yang tentu saja sangat disayangkan karena cenderung mengabaikan pertalian (koherensi) antar dalil yang sebaiknya dipahami dengan menggunakan pendekatan rasionalisme. Kondisi ini diperparah dengan kecenderungan untuk mengabaikan pendekatan peripatetik (4) dan eklektik (5) dan dalam proses kognitif menyamakan fakta metafisik sesederhana fakta empirik. Dari konsep seperti ini lah persoalan seperti radikalisme tumbuh subur.

Sebagai penutup, menarik mengaitkan pembusukkan persepsi ketuhanan ini dengan konsep gelora tiada padam atau “eternal passion”-nya Soren Kierkegaard(6) sebagai gagasan untuk mencegah “pembusukkan”. Soren Kierkegaard memandang keimanan sebagai gairah yang tidak pernah padam selamanya, gairah yang membuat individu memiliki motivasi untuk lepas dari doktrin dan melakukan upaya aktif dalam rangka pematangan keimanan yang berkelanjutan. Keimanan seperti ini akan menjadi milik individu tersebut, bukan milik lembaga-lembaga relijius beserta agen-agen kampanye didalamnya. Soren Kierkegaard menyampaikan pesan jelas bahwa keimanan itu tidak bisa diperoleh hanya dengan melekatkan diri pada lembaga-lembaga relijius untuk menikmati kenyamanan kolektif tetapi harus melalui pergumulan individu melawan kegelisahan-kegelisahan dengan sinar yang berasal dari api gairah yang tidak pernah padam.

Seperti apa yang dirasakan oleh seseorang yang mencintai kekasihnya dengan penuh gelora kasih sayang, gelora untuk memahami sang kekasih tanpa henti, gelora yang akan membuat cintanya kepada kekasih semakin besar, gelora yang akan menciptakan ikatan kuat antara mereka berdua saja, begitu juga hubungan keimanan dengan seseorang. Dan dengan gelora seperti ini tidak masuk akal jika kecintaannya kepada Tuhan dan persepsinya atas Tuhan bisa membusuk, justru akan tumbuh subur dan buah-buahnya akan bermanfaat bagi keluarga, bagi teman, bagi orang-orang di sekitarnya, bagi negara dan terakhir yang paling penting tentu saja bagi kemanusiaan.

Keterangan:

(1) Kantian: Gagasan atau segala yang berhubungan dengan pemikiran filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804). Meskipun dianggap seorang rasionalis, beliau terkenal dengan konsepnya yang berusaha menengahi perseteruan antara rasionalisme dan empirisme.
(2) Rasionalisme: Pendekatan akal yang meyakini keberadaan sumber awal (innate knowledge) yang sifatnya a priori (non-empiris). Sering ditempatkan pada posisi berlawanan dengan empirisme; pendekatan empiris atau pendekatan yang menekankan pentingnya pengalaman empirik atau posteriori.

(3) Kebenaran korespondensif: konsep kebenaran yang menekankan pentingnya hubungan antara dalil dengan fakta empirik seperti dalam contoh dalil “burung bisa terbang” benar karena fakta menunjukkan bahwa burung (sebagian besar burung) bisa terbang.

(4) Peripatetik: pendekatan helenistik yang bersifat induktif progresif atau menekankan penelusuran bukti untuk sampai ke kesimpulan.

(5) Eklektik: pendekatan filsafat dengan memilah-milah atau menelusuri sumber-sumber yang berbeda.

(6) Soren Kierkegaard: seorang filsuf Denmark yang terkenal dengan tulisannya yang “nyleneh” karena menampilkan ironi, satire, parodi, humor. Tulisan beliau terkesan bebas. Sebagai pendukung kebenaran subyektif gelar bapak eksistensialisme disematkan pada beliau. Sebuah kekeliruan umum menghubungkan eksistensialisme dengan atheisme (sebagai efek Sartre) pada gerakan eksistensialisme karena beliau adalah sosok Kristen yang taat dan relijius.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun