Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan yang Tetap Menyakitkan? Dari Sisi Lain Kasus PR Matematika SD, Praktek Penilaian sampai Pendidikan Nasional

23 September 2014   02:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:53 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14113887231086276643

(Sumber: Posting Facebook melalui Merdeka.com)

(Sebuah Kritik Singkat)

Media masa online saat ini sedang ramai memberitakan kasus “sepele”, yaitu PR matematika anak kelas 2 SD. Dalam PR itu si anak SD harus mengerjakan soal “perkalian” contohnya 4+4+4+4+4+4 = ….X….=…. dan karena merasa kesulitan kakaknya akhirnya membantu dia. Kasus ini segera menjadi bahan perdebatan yang cukup hangat di kalangan warga dunia maya yang pada dasarnya terbelah menjadi dua kubu, satu kubu mendukung kakak si siswa yang mengatakan bahwa yang terpenting adalah hasil dari perkalian itu yaitu 24, entah itu 4 x 6 atau 6 x 4 sedangkan kubu lain mendukung si guru yang menekankan proses dan konsep di mana 4 x 6 secara konseptual memang berbeda dengan 6 x 4 (lebih lengkap: http://www.merdeka.com/peristiwa/pr-matematika-anak-sd-heboh-di-fb-yang-benar-proses-atau-hasil.html).

Sedikit menyinggung tentang persoalan teknisnya. Secara konseptual 4 x 6 memang berbeda dengan 6 x 4 dan dalam wilayah ini si guru matematika tidak bisa disalahkan. (lebih lengkap: http://www.merdeka.com/peristiwa/penjelasan-dosen-matematika-soal-pr-anak-sd-hebohkan-facebook.html) Tetapi pencantuman hasil akhir dari perkalian itu dalam soal ini perlu mendapatkan perhatian khusus jika tidak bisa disalahkan karena akan muncul pergeseran tujuan penilaian soal yang seharusnya menekankan proses konseptual perkalian (perbedaan antara 4 x 6 dan 6 x 4) menjadi tumpang tindih dengan penilaian hasil perkalian yang memiliki sifat komutatif yaitu a x b = b x a.

Terlepas dari persoalan teknis tersebut, terdapat persoalan lain yang cukup menarik dan sejak lama menjadi keprihatinan penulis. Meskipun demikian persoalan ini harus dipahami dalam sudut pandang reflektif, yaitu satu kasus dianggap bisa mencerminkan kondisi umum. Dan tentu saja karena tidak didasari data statistik, tulisan ini hanya berusaha menampilkan apa yang tercermin dari kasus PR ini, yaitu persoalan penilaian pembelajaran pada khususnya dan persoalan pendidikan nasional pada umumnya. Dengan kata lain tulisan ini bersifat subyektif idealistik(1) bukan obyektif materialistik(2).

Dalam dunia pendidikan, dikenal dua macam penilaian; penilaian formatif dan penilaian sumatif. Penilaian formatif adalah penilaian baik formal atau informal yang dilakukan untuk mengamati perkembangan proses pembelajaran siswa untuk menyediakan feedback (masukan) baik untuk siswa untuk memperbaiki perkembangan belajar dan guru untuk memperbaiki perkembangan pengajaran. Sedangkan penilaian sumatif adalah penilaian yang dilakukan untuk mengevaluasi hasil akhir proses belajar pada akhir unit instruksional yang biasanya mengacu pada standar penilaian eksternal.

Tujuan pemberian tugas untuk dikerjakan di rumah kebanyakan adalah berkenaan dengan tujuan pengamatan dan pengawasan dan jika dilakukan penilaian maka bentuknya adalah penilaian formatif. Jika dijabarkan lebih jauh penilaian formatif bertujuan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan siswa dan membantu guru supaya dengan cepat bisa mengatasi persoalan yang muncul atau menghambat proses belajar siswa.

Karakteristik fisik dari penilaian formatif tidak harus selalu melalui pencantuman skor nilai dan bahkan melalui gerakan pendidikan yang lebih manusiawi penilaian formatif justru cenderung menghindari praktek penilaian skor(3) dan lebih menekankan pada pesan-pesan yang harus sampai pada siswa.

Kembali pada kasus di atas. Sejauh yang tampak pada bukti materi yang sayangnya terbatas bisa ditarik kesimpulan bahwa implementasi praktek benar-salah yang tegas dengan disertai penggunaan skor tampaknya masih menjadi keprihatinan tersendiri yang mewarnai dunia pendidikan di tanah air. Dan bahkan praktek yang seharusnya menjadi ciri khas dari penilaian sumatif ini ditemukan dalam ruang pekerjaan rumah yang seharusnya bersifat formatif! Bahkan di rumahnya sendiri siswa masih dihantui dan harus bergelut dengan konsep penilaian berkarakter sumatif yang tegas, keras, dan menghakimi bukan penilaian yang fungsinya adalah sebagai pendorong motivasi internal. Dan sebagai akibatnya pendidikan akan bersandar pada motivasi eksternal yang dipenuhi dengan berbagai macam penghargaan eksternal. Tetapi motivasi yang terbentuk dari penghargaan eksternal tidak bisa lepas dari dilematika persoalan pendidikan jika tidak bisa disebut dengan kelemahan ketika penghargaan itu ditarik.

Sistem yang landasan dan struktur penopangnya berasal dari bahan konstruksi penghargaan eksternal akan terjebak pada kebutuhan untuk terus menyediakan penghargaan eksternal. Dan dalam kultur materalistik(4), penghargaan eksternal akan memunculkan sifat aslinya yaitu kompetitif dan segmental. Sistem ini akan berujung pada persoalan keadilan sosial karena populasi yang memiliki kecukupan finansial bisa melakukan upaya-upaya ekstra untuk menjaga kepemilikan dan akses terhadap penghargaan eksternal tersebut dan sebagai akibatnya pada akhirnya banyak agen-agen di luar wilayah pendidikan formal yang menjanjikan kepemilikan dan akses ini.

Dan pendidikan menjadi sangat menyakitkan! Dan semakin banyak orang berteriak “tidak adil!”

Sebagai penutup, meskipun perbaikan pendidikan nasional terutama pada struktur kebijakan dan regulasi sudah terlihat nyata dan layak memperoleh penghargaan dan apresiasi, tidak lelah kiranya untuk berharap semoga kedepan pendidikan nasional lebih menekankan praktek-praktek yang menempatkan manusia pada kodratnya dan menjunjung tinggi keadilan sosial sebagai amanah dari dasar negara.

Keterangan:

(1) Subyektif idealistik lebih menekankan persepsi yang terbangun dalam pikiran sebagai obyek nyata.

(2) Obyektif materalistik lebih menekankan obyek di luar sebagai obyek nyata bukan fenomena yang bersifat materialistik dan berdiri lepas dari persepsi.

(3) Penilaian skor disini lebih diartikan penggunaan angka numerik, biasanya berkisar antara 1-10 untuk level pendidikan dasar meskipun penggunaan metode lain seperti pengklasifikasian A, B, C, atau E juga bisa disebut sebagai penilaian skor.

(4) Materalistik dalam pengertian umum yaitu kecenderungan menganggap kepemilikan dan kenyamanan fisik lebih penting dari nilai-nilai jiwani, bukan dalam pemahaman filsafat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun