Di sore hari ada seorang anak kecil berusia sekitar 4 tahun sedang bermain dan tiba-tiba dia menyebut nama Tuhan dalam agama tertentu setelah meniru ibunya yang menyebut nama Tuhan untuk konteks yang tidak ada kaitannya dengan si anak. Yang cukup mengejutkan si anak mempermainkan nama Tuhan itu seperti dia mempermainkan nama-nama temannya dengan mengulang-ulang nama sehingga terdengar lucu. Dengan cepat si ibu memarahi si anak tersebut dan berkata bahwa nama Tuhan tidak boleh dibuat main-main. Si anak berhenti dan memandang sejenak ke ibunya dan bertanya alasannya tetapi si ibu hanya menjawab kalau itu tidak boleh dan tentu saja jawabannya disertai dengan alasan khas theis, berdosa.
Yang menarik dari peristiwa yang dialami sendiri oleh penulis seperti disampaikan di atas adalah bukti empirik bahwa Tuhan atau ketuhanan adalah konsep. Sebuah konsep dikuasai melalui proses pembelajaran. Tetapi tidak seperti konsep empirik yang bisa diajarkan melalui pengalaman inderawi, konsep ketuhanan yang metafisik tentu saja tidak bisa diajarkan melalui pengalaman inderawi tetapi melalui penanaman konsep logika rasional yang tentu saja masih terlalu sulit untuk diajarkan di usia awal. Jadi apakah semua anak adalah dan untuk beberapa waktu yang cukup lama tetap menjadi atheis?
Baron d’Holbach terkenal dengan pernyataannya bahwa semua anak yang baru lahir adalah atheis karena anak pada masa perkembangannya masih tidak memiliki kemampuan untuk mencerna konsep metafisik dan ketidakmampuan ini berarti ketidakadaan konsep, dalam konteks ini konsep ketuhanan. Dari alasan inilah muncul istilah atheisme implisit yaitu ketidakadaan keyakinan theistik (dalam hal ini ketuhanan theistik) tanpa disertai kesadaran untuk menolaknya sedangkan lawannya adalah atheisme eksplisit yaitu penolakkan konsep ketuhanan yang disertai kesadaran akan logika yang menolak keberadaan deitas.
Lebih jauh, dari wilayah atheisme implisit ini bisa ditarik dalil bahwa ketuhanan sebenarnya bukan realitas empirik dan pengajarannya untuk anak-anak tidak bisa dilandaskan pada sumber-sumber empiris seperti membandingkannya dengan sosok-sosok otoritas yang mempraktekan pengaruh mereka pada kehidupan si anak. Pembelajaran mengenai konsep ketuhanan yang menekankan pada analogi-analogi empirik akan membuat atheisme implisit berkembang menjadi theisme empirik, theisme yang menggunakan sumber-sumber empirik sebagai penopang untuk mempertahankan kebenaran metafisik.
Sebagai penutup artikel singkat ini, tidak perlu membaca tulisan George Berkeley yang terkenal dengan istilahnya esse is percipi (kira-kira artinya adalah semuanya yang ada adalah persepsi) dan bergelut dengan imaterialisme untuk menyadari bahwa ketuhanan berada dalam ruang persepsi. Kecuali jika realitas metafisik bisa menampilkan fenomena yang korespondensif dan ada alasan kuat untuk menyingkirkan gagasan idealisme, terutama untuk entitas metafisik, maka atheisme implisit akan selalu menjadi fenomena yang selalu ditemui pada anak kecil. Meskipun cukup aneh kedengarannya, terutama bagi para theis, ternyata semua orang setidaknya pernah menjadi atheis ketika masih anak-anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H