Mohon tunggu...
Dian Savitri
Dian Savitri Mohon Tunggu... Guru - Seorang pengajar dan perantau

Berkelana ratusan kilometer dari kampung halaman, mengumpulkan pengalaman demi secercah harapan di masa tua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ciptakan Budaya Positif di Sekolah

3 Juni 2024   13:27 Diperbarui: 3 Juni 2024   14:06 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa SMPN 2 Tayu berkegiatan Readathon sebagai ajang berliterasi/dokpri

Dalam menjalani peran sebagai pendidik, menciptakan budaya positif di lingkungan sekolah merupakan tantangan yang tak bisa dianggap remeh. Namun, dengan pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep inti seperti disiplin positif, teori motivasi, dan posisi kontrol restitusi, saya merasa lebih siap menghadapi kompleksitas tersebut. 

Modul Budaya Positif telah memberikan landasan yang kuat bagi saya dalam memahami bagaimana membangun hubungan yang saling menguntungkan antara guru dan siswa, serta memperkuat keterlibatan mereka dalam proses pembelajaran.Dalam merenungkan pemahaman konsep inti, saya menemukan bahwa disiplin positif bukanlah sekadar tentang pemberian hukuman, tetapi lebih pada pembentukan hubungan yang saling menghargai antara guru dan siswa. 

Teori motivasi manusia, seperti yang dipelajari, memberikan wawasan yang mendalam tentang faktor-faktor yang mendorong perilaku, sehingga saya dapat lebih sensitif terhadap kebutuhan dasar siswa dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendukung. Sementara itu, segitiga restitusi memberikan kerangka kerja yang jelas dalam menyelesaikan konflik dan memperkuat hubungan positif antara semua pihak yang terlibat.

Pemahaman ini telah membawa perubahan signifikan dalam cara berpikir saya tentang menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah. Sebelumnya, saya cenderung mengandalkan posisi kontrol yang otoriter dalam menangani masalah disiplin, tetapi sekarang saya lebih cenderung menggunakan pendekatan yang kolaboratif dan restoratif. Pengalaman praktis dalam menerapkan segitiga restitusi telah membuktikan bahwa pendekatan ini lebih efektif dalam menyelesaikan konflik, sambil memperkuat hubungan antara guru dan siswa.

Namun demikian, refleksi ini juga membawa kesadaran bahwa masih ada ruang untuk perbaikan. Meskipun telah ada perubahan positif dalam pendekatan saya, masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk memperkuat keterlibatan siswa dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung. Dalam menerapkan konsep-konsep ini, saya juga menyadari pentingnya memahami kebutuhan individual siswa dan membangun keterlibatan yang kuat antara siswa, guru, dan orang tua.

Dengan merenungkan pengalaman masa lalu, menerapkan pembelajaran ini di masa mendatang, dan terus mengembangkan wawasan melalui sumber daya yang tersedia, saya yakin dapat terus berkontribusi pada penciptaan budaya positif di sekolah saya. Dengan demikian, refleksi ini menjadi sebuah tonggak penting dalam perjalanan saya sebagai pendidik, yang memberikan arah yang jelas dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, berdaya guna, dan mendukung pertumbuhan holistik semua siswa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun