Pernah dong mengalami situasi terjepit saat menghadapi pertanyaan basa-basi "Kerja di mana?" atau "Kapan nikah?". Mungkin sebagian orang bisa menjawabnya dengan lancar tanpa suatu halangan apapun.
Lha apa kabar buat kalian yang gelagapan mirip ikan pas keluar dari kolam? Dan saya termasuk orang-orang itu. Kalangan yang membisu saat mendengar dua pertanyaan menantang di atas. Tetapi kalimat "Kerja di mana?" lebih menyeramkan daripada "Kapan nikah?".
Hampir dua tahun saya bekerja sebagai freelance, penulis dan penerjemah. Oalah, cuma nulis aja, ada hasilnya? Alhamdulillah ada. Istilah freelance atau tenaga lepas, pertama kali diperkenalkan pada abad pertengahan oleh Sir Wallet Scott dalam novelnya berjudul "Ivanhoe". Seorang freelance digambarkan sebagai seorang tentara bayaran dan juga bentuk metafora dari sebuah tombak yang bebas (free lance).
Lain dulu lain sekarang, kini freelance muncul di banyak bidang seperti tulis-menulis, fotografi  dan desain grafis. Nah, seorang freelance writer akan membuat tulisan sesuai kesepakatan dengan klien. Pekerjaan ini tidak terikat dengan satu orang saja, itulah mengapa dinamakan freelance.
Orang-orang yang memiliki jenis pekerjaan ini akan menerima dilema di kehidupan sosial. Ngeri juga ya? Gimana nggak dilema, seorang freelance nggak pakai seragam dan nggak pergi ke kantor.
Duh memang terlihat seperti pengangguran. Ujung-ujungnya muncul perasaan kasihan pada orang tua, dinilai anaknya tidak sukses seperti orang lain dan bla..bla..bla..Â
Soal penerimaan gaji yang tidak tentu jumlah dan kedatangannya setiap bulan biasanya menjadi fokus utama pembahasan. Belum lagi saat menjelaskan ke orang-orang apa yang sebenarnya dikerjakan. Sebagian orang lebih memilih menjawab "Masih nganggur" atau "Ibu rumah tangga" atas pertanyaan "Kerja di mana?". Galau? Banget.
Seorang freelance, apapun bidangnya, lebih sering menghabiskan waktu di depan layar komputer ditemani segelas kopi panas. Malam menjadi kawan ideal baginya. Jari-jari asyik mengetik kalimat demi kalimat diiringi dengan selancar di dunia maya mencari berbagai informasi yang dibutuhkan. Beberapa jendela yang aktif di komputer adalah browser, aplikasi pengolah kata (seperti Microsoft Word serta aplikasi kamus.
Bagi kalian yang sudah menjalani cukup lama, pasti pernah merasakan kerasnya degup jantung saat pekerjaan belum selesai di H-1 menjelang deadline. Seorang penulis lepas memang dituntut untuk bekerja cepat dan harus mau belajar lebih. Positifnya sih jadi nggak kudet, apalagi sampai gaptek.
Well, life is a choice. Semua orang tahu betapa susahnya mencari pekerjaan di zaman sekarang. Namun memasuki era digital ini, hendaknya kita mulai bersiap jalan di dalamnya.
Pekerjaan seperti ini sudah cukup populer di Negara-negara maju karena dianggap lebih efisien menghasilkan pundi-pundi (tentunya bagi para pekerja keras) dan waktu luang untuk pengembangan diri. Memang ada satu sisi negatif yang saya juga rasakan, yaitu kurang bersosialisasi. Tetapi hal semacam ini dapat disiasati dengan bergabung ke komunitas tertentu sesuai minat kita.