Mohon tunggu...
Diandra Salsabilla
Diandra Salsabilla Mohon Tunggu... -

independen, soliter, fire

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kompasianer Aridha Prasetya, Saya Harus Bilang Apa?

16 Juni 2013   14:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:56 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ibu Aridha Prasetya pagi ini seperti rintik hujan yang dirindu kaktus di padang pasir. Anyes. Begitulah keinginan saya, mendapati sebuah tulisan yang sarat makna, menyejukkan, bukan tulisan yang berisi adu domba, pemecah belah, dan bentuk ke sok jagoan penulis menghakimi suatu masalah.


Ibu Aridha memandang perseteruan saya dengan akun Anindya dengan arif dan bijak. tidak ada unsur pembelaan dan kecondongan ke salah satu pihak meskipun beliau sudah bertemu muka dengan Anindya langsung, dan tidak mengenal saya sebelumnya, terimakasih untuk nasehatnya.


Sebetulnya, jika disikapi dengan jernih, perseteruan saya dengan Anindya adalah bentuk kepedulian saya dengan sikap-sikap Anindya yang jika tidak disentil, akan membuat Anindya menjadi seorang yang pongah. Beberapa tulisannya yang memancing kemarahan pembaca, tulisan-tulisan provokasi dan kontroversi yang dibanggakannya. Pengakuannya yang membanggakan diri melepas jilbab, komentar-komentarnya yang kurang sopan dalam memakai bahasa, seperti "kudoain lu impoten", "onani", dan bahasa serampangan yang membuat pembaca merasa jengah dengan kata-kata tersebut, memunculkan tafsir yang bermacam-macam diperasaan pembaca.


Hingga muncullah praduga saya itu, apa mungkin seorang wanita muda yang dulunya memakai jilbab, memiliki kosakata bahasa yang tidak santun? apa tidak bisa memilih diksi yang lebih baik dari itu? apa mungkin ini bukan seorang Anindya? adakah "the other man" dibalik itu?


Pancingan saya tersebut direaksi keras oleh Anindya, dan hingga muncullah episode perseteruan ini. Dan dari semua yang tergambar, saya mengakui bahwa saya tidak etis melemparkan sesuatu hal yang hanya berupa intuisi ke ruang publik. dan saya menghargai semua usaha Anindya untuk mengklarifikasi semua praduga saya, dan untuk itu saya tidak berniat memperpanjang perseteruan ini.


Namun saya berharap dari masing-masing pihak bisa mengambil pelajaran dari perseteruan ini, bahwa ada tanggungjawab yang harus dipikul ketika kita berani melempar wacana ke ruang publik, apalagi yang bersifat provokasi, atau menjurus ke pelecehan agama.

Andai ada pihak-pihak lain diluar perseteruan saya dengan anindya merasa "berduka" dengan kata damai dari saya ini, itu sudah bukan urusan dan kuasa saya lagi.

Sebelum mengakhiri, saya berterimakasih ke semua pihak yang bersedia mendamaikan kami, sampai pakde Sakimun, orang yang terkenal bijak disini ikutan turun gunung. Terimakasih pula untuk dosen Muhammad armand, yang berkenan mengulik sisi perspektif kejiwaan saya, saya menghargainya, karena saya sudah merasa dekat dengan orang Makassar ini (perasaan saya ^_^).

Untuk ibu Aridha, saya harus bilang apa? saya harus berucap, bahwa orang-orang seperti ibu sangat dibutuhkan dalam interaksi disini, keberadaan ibu sangat memberi manfaat dalam gejolak dan friksi yang terjadi di kompasiana, pandangan-pandangan ibu sangat bijak, karena kita menyadari bahwa dalam interaksi friksi selalu ada, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Semoga banyak Aridha-aridha lain yang muncul disini.

Biarlah ada sebgaian member yang menyudutkan saya sebagai pihak yang berusaha keras mencari simpati publik, atau ada yang mengatakan cerdas tapi gila, saya menerima, itu hal kalian semua untuk menjustifikasi saya.

Salam.
case slosed

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun