Banyak diantara temen-temen gue yang menjelang pemilu nanti mulai asik ngomong tentang politik. Entah lagi musimnya atau mereka mulai sadar kalo politik itu salah satu cara memacu adrenaline, tapi yang pasti banyak tipe materi yang mereka bahas. Mulai yang paling standar "siapa yang bakal lu pilih jadi presiden sampe dengan opini mau pilih salah satu bakal calon presiden karena ramah dan eksis, yang terbukti dengan sering twitteran dan sering komen tentang artis" . Membahas tentang politik, dalam hal ini khususnya pemilu, bagi kita para angkatan 90 an sebenarnya bukan hal yang terlalu istimewa, karena pada dasarnya poitik itu lahir untuk semua orang. Semua generasi. Dan semua yang memiliki suara karena pada kamus besar politik kurang lebih berarti pengambilan keputusan.
Menjadi agak istimewa untuk generasi 90an asik dengan politik karena pada masa ini,generasi 90an terlalu banyak melihat politik yang begitu rumit, suram, gelap, dan kurang atraktif. Kalah atraktif dengan persaingan iphone dan android. Dari sekian temen diskusi itu salah yang bikin gue tertarik adalah banyaknya orang-orang yang mau ngelamar jadi presiden. Ngelamar gebetan aja susah apa lagi presiden. Nggak sedikit dari mereka berkomentar heran banyak yang mau jadi presiden. gue pun ikut komentar seperti ini,
Sesuai dengan hukum alam, semakin mudah dan besar untung suatu profesi semakin banyak yang mengidamkannya. jadi dapat dikesankan atau terkesankan atau apalah istilahnya, "profesi jadi presiden itu gampang broh, lebih gampang dari pada profesi jadi jadi jomblo yang harus menyatakan keadaan bahaya tiap malam minggu."
Efek dari banyaknya "Putra Sakti Indonesia" yang mau ngelamar menjadi presiden adalah bukan hanya profesi presiden itu terlihat sepele tapi kesan kalap jabatan semakin menjadi. Padalah abis melihat kerja semisal kang Emil, koh Ahok, dan tentu aja Indonesian idol, pak de Wi, kayaknya ribet banget  deh jadi pemimpin, yang mesti ngatur sekian banyak perut. Jadi pemimpin di provinsi aja ribet apalagi jadi presiden. Tapi kok bisa-bisanya masih banyak yang ngelamar jadi presiden dengan CV dan Portofolio yang awsem bagi diri mereka sendiri.
Balik lagi, para "Putra Sakti Indonesia" ibarat tanpa rem kopling gigi satu, berlomba mengeluarkan ilmu kanugarannya. Seakan tidak melihat aturan bahkan terkesan brutal. Memang sih dalam undang-undang semua warga negara bumi nusantara berhak untuk menjadi presiden, tapi kan... ya sudah lah. Belum lagi para "Putra Sakti Indonesia" ini bersama kereta kencananya(baca parpol) melakukan Branding advertisingnya. Ada bilang perduli negara dan pendidikan dengan bikin kuis lah, ada dengan main sinetron, main twitter, ngajak dangdutan, ikut bintang iklan, bikin puisi, bikin lagu, bikin galau.  Memang merupakan hak mereka untuk menjual diri masing masing, tapi alangkah lebih elegannya saat mereka menjual diri sebagai pelayan bukan sebagai raja. Menjual praktek dari pada teori. Menjual jadi guru dari pada pesulap sakti.
Kita sebagai generasi 90an bukannya malas dengan "om om sakti" tersebut, tapi kita sudah terlalu banyak melihat orang pintar dan sakti, yang kita butuhkan itu guru, teladan yang bisa membuat kita melihat politik seperti produk Apple, menyenangkan dan menggairahkan. Lagian bukan sial kita lahir di negara berkembang  dengan politik seperti ini, dimana sedang berjalan untuk finish menjadi negara maju. Bukan sial kita juga sebagai generasi 90an yang melihat politik seperti Dementor, lebih banyak menyiksa dari pada melindungi.
Terakhir, sepertinya memang jika keadaan dimana semua putra sakti itu masih asik saling adu kesaktian, jalan untuk maju finish mungkin perlu beberapa putaran lagi.
nb. ditulis saat MU gagal menang lagi.shit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H