SEORANG bocah menghambur ke tuannya. "Tuang-tuan,.." jeritnya. Tuannya datang dan merangkulnya. Dalam tangisnya, sang bocah
menceritakan bagaimana serdadu Sekutu telah menginjak-injak bendera (merah putih) kecil dan melumatnya di bawah sepatu larsnya. Bendera itu adalah bendera yang terkancing di jas-jas bekas yang dijajakan si anak di pinggiran Vokuraido, sebuah tanah lapang luas di Medan.
Tak puas mengadu ke majikannya, bocah penjual jas bekas itu menghambur ke kumpulan pemuda Indonesia guna melaporkan kejadian tersebut. Terbakarlah kemarahan barisan muda pribumi. Mereka mengepalkan tinju. perlakuan serdadu tersebut dicap sebuah penghinaan sekaligus pengkhianatan. Esoknya meletus aksi demonstrasi. Ribuan pemuda turun ke jalan menolak kedatangan sekutu ke Tanah Air. Pemuda Sumatera yang ada di Medan di awal mendengar kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia makin geram ketika menyadari bahwa Hak atas tanah, air dan bahasa belum sepenuhnya direbut.
Itu sepenggal kisah yang tersembunyi hampir tujuh dekade pasca Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI. Kisah itu dituturkan ulang oleh Muhammad TWH, seorang Veteran di Medan. Kisah bocah kecil itu adalah bagian sejarah bangsa ini yang harus dikemas untuk dituturkan ulang kepada tiap generasi supaya nasionalisme tetap awet. Namun, kisah-kisah itu terus tergerus bahkan tenggelam oleh gempuran neoliberalisme.
Di lapangan Vukoraido, tempat sang anak menjajakan jas-jas bekas, dulu, Ahmad Tahir pernah mengawal Mr. Hassan, Gubernur Sumatera untuk membacakan ulang teks proklamasi kemerdekaan RI, pada 6 Oktober 1945. Terlambat memang berita itu sampai ke Medan. Dan Kabar baik itu pun terdengar samar-samar hingga ke berbagai pelosok di tanah air. Jika bukan karena turut disiarkan Domain, sebuah kantor berita Jepang, jangan-jangan berita kemerdekaan RI di Medan bisa lebih lama lagi baru diketahui warga. Karena itu, banyak pihak sepakat, betapa pentingnya menghargai sejarah kita.
Dan saking pentingnya sejarah itu, dibangunlah sebuah monumen proklamasi di sisi timur Vukoraido, yang belakangan diubah namanya menjadi Lapangan Merdeka. Lapangan Merdeka, dulunya, adalah sebuah tanah perkebunan tembakau yang dibuka tahun 1880 dengan luas 125 x 275 meter persegi. Sejak kemerdekaan RI di proklamasikan di Medan, lahan perkebunan itu kemudian diperuntukkan sebagai ruang terbuka publik, tempat interaksi sosial, bidaya dan ekonomi kota.
"Banyak delman dan kuda saat itu sebagai alat transportasi," ujar Sejarawah Unimed Dr Phil Ichawan Azhari. Berselang delapan tahun, (1888) Istana Maimoon pun dibuka. Vukoraido dijadikan alun-alun sekaligus paru-pru kota. Ia menjadi jantung kota Medan. Di sinilah geliat kehidupan menuju perkotaan dimulai.
Vukoraido dibangun dengan desain ala Belanda. Di sisi timur berdiri stasiun besar kereta api Medan. Stasiun yang menghubungkan ke banyak titik di kota-kota lain di Sumatera Utara. Di bagian selatan, ada Pajak Ikan Lama. Pajak berarti pasar. Pasar ikan lama bukan berarti menjual ikan, melainkan jualannya kain. Ada juga sejumlah bank swasta. Di barat, gedung bank Indonesia, kantor wali kota (di Jalan Raden Saleh), beberapa hotel lapangan (seperti Inna Dharma Deli, Grand Aston, City Hall), dan di Utara, dibangun kantor pos pusat kota Medan.
Sayangnya, dengan desain tersebut dan segala kisah sejarah di dalamnya, lapangan merdeka seakan tak menarik bagi sejumlah pengambil kebijakan di Sumatera Utara ini. Tak heran jika Lapangan Merdeka mulai dicongkel, digerogoti di sisi Timur dan Barat. Di Barat, telah lama dialihkan menjadi lahan perkulakan yakni munculnya Merdeka Walk dengan dagangan ala kebarat-baratan. Di sisi timur, itulah yang sekarang sedang sengketa yakni pembangunan lahan parkir dan city cek in, serta jembatan layang.
Sayangnya pembangunan lahan parkir itu telah memakan cukup besar lapangan bersejarah tersebut. Padahal, bangunan-bangunan tersebut sama sekali tak menyumbang apa-apa bagi kesejahteraan warga Medan. Lebih menyedihkan lagi, sejarah perjuangan bangsa yang pernah ditorehkan para pendahulu, akan lenyap oleh bangunan-bangunan baru tersebut.
Prihatin atas keadaan tersebut, Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (PUSSIS) Unimed bersama sejumlah akademisi, wartawan, sejarawan budayawan, pengamat budaya, mahasiswa membangun sebuah gerajan perlawanan. Gerakan yang fokus dalam upaya penyelamatan lapangan merdeka sebagai salah satu aset sejarah.