Dalam kelas inspirasi di salah satu SD Negeri di Medan, Selasa (1/10) pagi kemarin, saya membawakan materi tentang asyiknya menggeluti profesi sebagai penulis dan fotografer.Â
Sebelum masuk jauh ke dalam topik bahasan, saya membuka kelas dengan mengajukan dua pertanyaan. Pertama: siapa dari kalian yang punya akun Facebook? Pertanyaan itu kontan disahuti serentak oleh seluruh anak dengan teriakan "Saya" sambil angkat tangan. Tak hanya facebook, anak-anak didik kelas 4,5 dan 6 setingkat SD itu juga semuanya memiliki nomor WhatsApp (WA).Â
Dengan jawaban mereka itu, saya mulai curiga. Untuk apa anak SD memiliki akun FB dan nomor WA? Penasaran, saya pun ajukan pertanyaan kedua. Apa yang kalian lakukan di Facebook?
Ada beragam jawaban. Namun sebagian besar anak bercerita, mereka mengikuti informasi seputar kebakaran, kecelakaan lalu lintas, pembunuhan, perselingkuhan, kematian, dan postingan-postingan lainnya, yang menurut saya tidak semestinya mereka konsumsi.
Bahkan ada yang mengatakan, senang mencari berita-berita atau informasi tentang tabrakan yang diposting orang di Facebook. Mendengar jawaban mereka itu, saya merinding. Saya kerap menemukan foto-foto korban kecelakaan tanpa sensor berseliweran di timeline Facebook. Membayangkan foto-foto seperti itu dikonsumsi anak sekolah dasar membuat saya kuatir.
Sungguh, anak-anak ini belumlah celik menentukan apa yang baik untuk mereka konsumsi. Tetapi mereka tidak punya pilihan lain. Mereka terpapar oleh postingan yang tidak sepantasnya mereka lihat. Apalagi mereka mengaku, rata-rata dua jam dalam sehari mengakses media sosial tanpa dampingan orangtua.
Pengakuan anak-anak ini menegur saya. Sebagai orang dewasa, saya turut bertanggung jawab atas fenomena ini. Kita telah mengubah media sosial dari fungsi awalnya didesain. Kita orang dewasa gagal menciptakan suasana yang nyaman bagi anak-anak saat mereka mengakses internet.Â
Postingan-postingan kita yang sering kali tanpa sensor dan tidak mempertimbangkan dampak dari publikasi itu telah menyeret anak-anak kita ke jurang gelap kebodohan. Kita bahkan buang badan atas kejadian seperti itu.
Apa yang terjadi di sekolah kemarin memang sudah diprediksi banyak pihak. Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) 2017 lalu menyebut separuh dari populasi penduduk Indonesia telah terkoneksi dengan internet.Â
Sebanyak 80 persen dari mereka memanfaatkan internet untuk larut di media sosial. Survey teranyar Lembaga Marketers menyebut 83 persen orang mengakses internet dari ponsel. Maka, anak-anak didik itu pun jelas berselancar di dunia maya via ponsel.