"Soal rasa, lidah tidak bisa bohong!" begitu pesan kunci sebuah iklan mie instan. Cukup kuat pesan itu. Ampuh menempeleng "nama besar" satu warung makan kenamaan yang ada di jantung kota Medan.
Kemaren Kamis (12/9) sore, saya mengajak kekasih untuk bersantap siang, di satu warung yang hanya berjarak sepelemparan batu dari kantornya. Namanya tidak saya sebutkan, karena tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan, tetapi hanya bercerita tentang pengalaman semata.
Warung itu cukup fenomenal di kota ini. Jika menyebut namanya saja, warga Medan, mungkin langsung tahu. Pembelinya ramai. Mungkin pelanggannya juga ratusan setiap hari.Â
Sejauh amatan saya, orang sampai mengantre untuk membeli makan di sana. Mereka yang datang beragam penampilannya, ada yang berseragam dinas, pekerja kantoran, agen asuransi, pegawai toko, ibu-ibu pedagang, pebisnis dan jurnalis.
Kekasih saya merekomendasikan warung itu. Dengan pede ia mengatakan, ini warungnya terkenal sekali. Legendaris! "Tapi ada rupa ada harga!" Bagi saya, yang terbiasa makan di pinggir jalan, soal harga selalu jadi pemikiran.Â
Tetapi, demi kekasih, saya rela jika harus membayar mahal makan siang di sana, karena toh ini bukan soal "makan apa" tetapi makan "bersama siapa".Â
Tanpa ragu, kami pun masuk ke warung itu dan memesan makanan. Menu andalan warung terkenal ini adalah kari ayam dan kari sapi. Kami memesan kari ayam. Lengkap dengan minuman dan es batu. Tentu saja saya berharap, kari yang kami pesan ini lezat. Tetapi nyatanya, rasanya tidak sesuai ekspektasi.Â
Kekasihku memilih mengurungkan niat makan siangnya. Nasi terbuang percuma dan kari yang benar-benar tidak enak. Saya bahkan berpikir, apakah kokinya tidak menyadari, jika kari yang dijualnya ini rasanya tidak enak?
Saya memang bukan penikmat kari, tetapi sebagai warga biasa yang gemar makanan baru, lidah saya tidak sulit untuk mendeteksi mana makanan yang sedap mana yang buruk. Kepada kekasih, saya katakan, warung ini HANYA menang nama besar, soal mutu masakan (khusus kari ayamnya) buruk sekali.Â
Saya tidak tahu, apakah hanya kari ayamnya saja yang tidak enak di lidah ataukah makanan lainnya juga. Saya berharap, semoga saja hanya kari yang saya pesan. Â Atau barangkali, hanya naas semata, yang mungkin saja kokinya sedang kurang mood dalam memasak hari itu.Â
Saya tidak ingin warung ini gulung tikar, karena mutunya menurun. Sebab cukup ramai pelanggannya, yang artinya banyak sekali orang (khususnya kelas pekerja kantoran), mengandalkan warung ini sebagai tempat makan siang.Â
Warung ini telah memberi kesempatan bagi para pelanggannya untuk menikmati makan siang dengan sajian bergizi. Namun akan sayang sekali, jika hanya mengandalkan "nama besar" tanpa memperhatikan kualitas jualannya. Harga boleh mahal, asal citarasa dan gizi kulinernya tidak mengecewakan.
Apalagi, Medan terkenal dengan citarasa dan keragaman kulinernya. Jangan sampailah karena kecewa soal citarasa kuliner, turis pun enggan berpelesir di Medan.Â
Kualitas cita rasa dan gizi kuliner kita musti dipertahankan. Karena dengan begitulah, orang bakal kembali tergoda untuk datang memesan makanan ke warung kita.Â
Dan jika mereka sampai terkesan, mereka sendirilah yang tampil sebagai pengiklan terhebat kuliner kita kepada banyak orang. Mereka akan dengan senang hati mempromosikan dan merekomendasikan kuliner kita yang lezat-lezat itu ke masyarakat lebih luas. Saya yakin itu! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H