Mohon tunggu...
Dedy Gunawan
Dedy Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Penulis, blogger, jurnalis, senimanmacro, fotografer, penikmat kuliner, traveler, guru, pelatih menulis, dan penyuka segala jenis musik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melibatkan Warga dalam Mitigasi Bencana

21 Desember 2015   14:54 Diperbarui: 22 Desember 2015   01:50 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bedu Saini, forografer serambi Indonesia. Foto Oleh Dedy Hutajulu"][/caption]LAHIR di Desa Padang Unoe (Simeulu), Aceh, 10 Maret 1963 silam, lelaki itu kemudian tumbuh-kembang jadi anak muda. Ia bekerja sebagai tukang sapu di sebuah kantor surat kabar di kampung halamannya. Namun kegigihannya bekerja dan belajar membawanya melejit ke karir yang lebih menjanjikan.

Bergabung dengan Harian Serambi Indonesia pada 1990, karirnya dimulai dari kamar gelap. Lalu dia dipercaya memegang kamera. Sejak potret pertamanya, hingga hari ini, ia keranjingan untuk berkarya di dunia jurnalistik. Dan satu sejarah bangsa ini, tak lepas dari jejak rekam lensa kameranya.

Dia Bedu Saini, seorang fotografer yang bertarung dengan maut dalam mengabadikan detik-detik tsunami yang menggulung daratan Aceh pada 2004 Silam. Ia tak menyangka, lidah air laut secara dahyat akan melibas seluruh pesisir pantai. Waktu itu, yang dia tau adalah terjadi  gempa. Bumi berayun. "Orang mengira ini hanya gempa dan krueng (sungai banjir)," sambungnya.

Sebagai jurnalis foto, jiwa jurnalistiknya membimbingnya menghambur ke kota untuk memotret. “Kupikir banyak gedung runtuh. Aku ingin memotretnya,” terangnya, “Tak dinyana, gempa disusul air bah.”

Dalam peristiwa itu, Bedu kehilangan ibu dan dua anaknya. Bahkan 55 karyawan Serambi Indonesia meninggal dunia, sebelas diantarabnya adalah jurnalis. Kehilangan keluarga dan kolega tak pelak membuat Bedu dirundung duka. Jiwanya nelangsa. Namun duka itu tak bertahan lama. Segera ia bergabung dengan relawan melakukan evakuasi pada para korban. Memang tak mudah untuk konsisten berkarya ketika keluarga kita dirundung malang. Namun ia mampu melewati hari naas itu dan terus memotret. "Teruslah memotret. Jepret apa saja, kapan dan dimana saja," katanya member semangat pada para wartawan yang mendengarnya berkisah.

***

[caption caption="Oscar Motulloh (kiri) , Bedu Saini (tengah) dalam talkshow di kafe Potret Medan, Jalan Wahid Hasyim, Sabtu (19/12). Foto oleh Dedy Hutajulu, "]

[/caption]

MENGENANG 11 tahun tsunami Aceh, Bedu Saini fotografer asal Aceh meluncurkan buku 'Civilization of Light' di Medan, Sabtu (19/12). Buku karyanya ini menjadi saksi sejarah kemahadahsyatan Tsunami yang terjadi di Aceh dan Nias pada 2004 silam. Dalam peluncuran buku yang diprakarsai Kurator Foro Antara, Oscar Motuloh serta Asosiasi Fotografer Sumatera Utara (AFSU) bersama puluhan fotografer dan wartawan di Medan serta berbagai komunitas pecinta foto menyambut baik peluncuran bukunya.

Ketua AFSU, Ferry Ardian mengatakan pihaknya terlibat dalam acara itu, karena kepercayaan Oscar Motulloh dan sponsor yang ada di Medan. Karena menurut mereka selama ini hanya bisa merangkul event-event yang berhubungan dengan fotografi yang ada di Kota Medan. "Kita berharap, melalui buku ini masyarakat tau bagaimana perbandingan keadaan Aceh 11 tahun yang lalu dengan sekarang, karena Tsunami bukan hanya merubah Aceh, tapi juga merubah dunia," terangnya.

Ia menganggap foto-foto Bedu Saini sangat luar biasa dengan adanya foto tersebut dapat di konsumsi publik untuk menunjukan bahwa foto itu menjadi saksi sejarah kedahsyatan Tsunami Aceh.

Mengenakan kemeja kotak-kotak biru lengan pendek, Bedu agak kewalahan meladeni permintaan wartawan yang ingin menginterviunya secara eksklusif. Apalagi wartawa teleivisi dengan perusahaan berbeda, jelas sekali ingin mencari angle berbeda. Namun Bedu dengan rendah hati meladeninya. Padahal, acara talkshow belum juga dimulai. Kisah dramatis Bedu berjuang mengabadikan foto itu tampaknya lebih primadona bagi para jurnalis di Medan ketimbang pesan yang hendak diusung Bedu, dkk: jurnalisme bencana dan pentingnya mitigasi bencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun