Mohon tunggu...
Dedy Gunawan
Dedy Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Penulis, blogger, jurnalis, senimanmacro, fotografer, penikmat kuliner, traveler, guru, pelatih menulis, dan penyuka segala jenis musik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melibatkan Warga dalam Mitigasi Bencana

21 Desember 2015   14:54 Diperbarui: 22 Desember 2015   01:50 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai keturunan Aceh,Bedu memiliki suara yang lembut dan pelan. Tak heran jika wartawan kesulitan untuk merekam suaranya. Apalagi suara music di rungan kafe lebih berisik. Belum lagi sejumlah ‘model’ karbitan tertawa di pintu masuk saat sesi pemotretan, ditambah sejumlah suara shooter kamera dan orang lalu lalang.

Dalam sesi talkshow, Oscar Motulloh dan Bedu Saini duduk berdampingan di atas pentas. Sebelum memulai paparannya, Oscar lebih dulu member penilaiannya terhadap siapa Bedu. Ia mengatakan, Bedu adalah orang kreatif dan konsisten. “Bedu ini kretatif dan konsisten. Ia bertahan sampai hari ini tetap memotret. Bukan hanya sebelum tetapi juga saat dan pascatsunami. "Tsunai telah melukai hati Bedu. Tapi luka itu tak mampu menghentikan semangatnya untuk memotret," cetus Oscar, sembari menyelipkan ramput gondrongnya ke balik daun telinga.

Karena ketangguhna Bedu, Oscar merasa perlu ikut mendukungnya secara total. Oscar mengatakan, penjualan dan lelang buku karya Bedu akan digunakan Bedu dan relawan lainnya untuk akan mengajak masyarakat belajar tentang mitigasi dan siap siaga menghadapi bencana alam. Pemberdayakan masyarakat di daerah bencana lewat menulkarkan ilmu fotografi jurnalistik menjadi tantangan tersendiri. Sebab, kata Oscar, pada waktu pers berhenti menyiarkannya, atau sangat berkala, maka mereka warga bisa melanjutkan (memotret). Itu adalah suara mereka. Mereka-mereka ini yang akan terus berkarya. Foto-foto mereka akan menjadi alarm bencana dan itu dilakukan terus menerus.

Terkendala ruang, media terbatas memberitakan tetapi warga bisa menjadi juru foto secara terus menerus, ini menjadi peluang yang bisa dimanfaatkan warga untuk terus bersuara. "Foto-foto itu akan disiarkan di blog, nanti akan kita viralkan dengan banyak link. Sehingga dunia bisa tahu perkembangannya terus. Kita musti sadar, meski negeri kita berada di zamrud khatulistiwa tetapi di bawah kaki kita ada lingkar cincin api, yakni ratusan gunung berapi yang harus kita waspadai selalu. Di sinilah peran kita semua dibutuhkan, bukan hanya jurnalis," terang Oscar lagi.

 [caption caption="Rizky berteatrikal tentang nasib Aceh akibat tsunami. Foto oleh Dedy Hutajulu"]

[/caption]

Lewat Buku Civilization of Light, (Peradaban Cahaya), Bedu sedang bersaksi bahwa sejarah itu tak pernah turun dari langit. Fotografi sejarah itu dibuat oleh masyarakat. Lahir dari proses kreatif dan konsisten. Bedu telah melakukannya. Bedu bertahan sampai hari ini. Dalam titik ini, kita harus melihat, Bedu dalam kacamata korban tsunami.

Bisakah korban bencana berkarya? Bisakah korban erupsi Sinabung bersuara? Jawabnya: bisa! Bedu menunjukkan caranya. Ambil kamera dan teruslah memotret. Sekarang ini, kita tidak perlu harus membeli kamera dengan biaya mahal. Zaman telah mneyediakan kemurahannya bagi kita. Teknologi menciptakan kemudahan. Lewat handphone atau smartphone, para warga yang tinggal di lokasi rawan bencana bisa memorte dan detik itu juga, lewat ujung jarinya, ia bisa mengunggahnya di berbagai media jejaring social. Dengan begitu informasi telah tersiar. Blog mejadi kanal lain yang lebih menarik untuk menyiarkan karya-karya foto.

Dengan ide sederhana ini, Bedu dan para relawan serta Pewarta Foto Indonesia sedang mewujudkan gagasnanya tersebut. Seluruh hasil penjualan buku ini akan dikelola untuk membina anak muda, terutama bagaimana meningkatkan mitigasi bencaana, bagi masyarakat yang ada di pesisir pantai atau di lokasi gunung berapi.  Bedu, dkk akan melatih mereka jeli untuk memotret, ya semacam talent scoating, di bidang fotografi. “Kalau ada dana kecil mereka akan bikin blog untuk mempulikasikannya.”

Mungkin mereka punya peluang kecil untuk mempublikasikannya di media, tetapi dengan blog tidak. Ini akan menjadi tugas dari para jurnalis untuk mengawal atau mendampingi para korban yang tertarik fotografi, untuk melatih mereka mengabadikan kejadian-kejadian di daerah rawan bencana.  Mungkin walau langkah ini kecil, tapi siapa tahu nanti ini menjadi gerakan besar. Dan karya para warga di lokasi bencana ini mendapat perhatian dari lembaga tertentu lalu mereka mau mendukungnya.

Bencana alam, menurut Mbah Rono, (Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dr. Surono, ) memerlukan sebuah perhatian seluas-luasnya kepada riset. Karena  kondisi geografis kita, geologi memang berada pada cincin api. Pada lempeng-lempeng. Ini yang otomatis harus dipantau. Sehingga  ada early warning, peringatan dini kalau akan terjadi sesuatu. Di Indonesia ada 100-an gunug berapi aktif. Dan bencana pasti akan terjadi tapi kita gak tau kapan.

Karena itu, walau gerakan ini kecil, tapi bermakna. Namun untuk bisa sampai ke sana, perlu diberi contoh. Pers mungkin menganggap isu bencana akhirnya tidak seksi setelah tidak. Kita melihat para blogger juga tidak melulu memuat tentang berita selfie. Banyak yang kontennya bagus.Ini tantangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun