Mohon tunggu...
Dedy Gunawan
Dedy Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Penulis, blogger, jurnalis, senimanmacro, fotografer, penikmat kuliner, traveler, guru, pelatih menulis, dan penyuka segala jenis musik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Nasib Perempuan di Nias

27 April 2015   02:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:39 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_380312" align="alignright" width="300" caption="Upi Nurhayanti, 17 tahun belajar menjahit karena putus sekolah"][/caption]

SEPULUH anak gadis usia belasan tahun heboh saat kami datang. Mereka bergegas menarik kursi. Kami, rombongan wartawan dari Medan dan Jakarta, dipersilakan duduk. Mereka sendiri bersempit-sempitan demi menjamu kami di sebuah ruangan mini, tepatnya sanggar jahit mereka, di desa Sisarikhi, Kecamatan Hiliduno. Sebuah desa kecil di pedalaman Nias Utara.

Kami harus berjalan kaki, karena medannya turunan. Akses jalan aspal belum bisa masuk. Dan kami masuk ke perkampungan itu setelah menyusuri beberapa ratus meter hutan karet. Duduk melingkar, membuat kami bisa lebih leluasa berbagi kisah. Rombongan dari Medan datang sekadar untuk menggali informasi.

Saya mendapati dua anak yang ternyata putus sekolah. Namanya Upi Nurhayanti dan Mesilina Zebua. Upi hanya tamat sekolah dasar, sedang Mesi tamat SMP. Saya terkejut karena keduanya putus sekolah bukan akibat faktor kemiskinan. Upi mengaku, ia diminta ibunya ‘nganggur’ dulu setahun karena abangnya akan menikah. Dari pengakuannya, biaya nikah abangnya, Soveriuns diatas 80 juta rupiah. Untuk mengejar biaya pesta nikah, tak ada jalan lain, Upi pun dikorbankan. Ia tak lagi boleh sekolah.

Awalnya minta setahun saja, lama-lama ibunya, kata dia, minta lagi setahun lagi, lagi dan lagi hingga akhirnya Upi benar-benar putus sekolah. “Aku sudah beberapa kali tanya ke mama, kapannya aku sekolah? Kata mama, ‘nantilah dulu ya,’” kenangnya sedih.

Kisah sedih mirip-mirip dialami Mesi. Ia anak ketiga dari lima bersaudara. Ia diminta agar ‘nganggur’ dari sekolah karena abangnya mau melangkah ke pelaminan. “Mama bilang nganggur dulu setahun karena abang menikah. Setelah nganggur setahun saya tagih lagi janji mama kapan saya bisa sekolah lagi. Kata mama saya harus nganggur lagi. Jadi saya terus-terusan nganggur. Setelah menganggur aktivitas saya cuma menyadap karet. Setelah umur saya sudah 18 tahun saya sudah malu harus sekolah lagi. Karena itu saya belajar menjahit di kelompok ini saya punya banyak teman,” ujar Mesi yang sudah merasa menemukan keluarga baru di komunitas jahitnya.

Sore itu, cuaca cerah, sehingga senja juga masih begitu benderang. Desa Sisarikhi yang berada di tengah-tengah hutan karet kentara dengan bunyi nyanyian burung. Lagi musim buah pohon duku, dan burung pun berpesta di atas dahan-dahannya. Upi, dkk kembali melanjutkan kerjaan mereka. Pesanan seragam sekolah yang harus dijahit masih banyak. Dari jahit-menjahit inilah ia bisa mendapatkan uang, selain harus kembali menyadap karet di siang hari. Menyadap karet masih jadi mata pencaharian banyak orang di kampung tersebut.

***

[caption id="attachment_380313" align="alignleft" width="300" caption="Nita sedang menyalon Vita. Dua remaja perempuan ini belajar salon karena putus sekolah."]

14300783271089482021
14300783271089482021
[/caption]

NIAS begitu berhasrat memekarkan diri. Kini, empat kabupaten telah terbentuk. Keempatnya berusaha untuk membentuk sebuah provinsi. Supaya apa? Supaya mandiri. Tetapi apa gunanya mandiri jika di tataran akar rumput, nasib perempuan Nias justru makin terpuruk di puncak hirarki penderitaan. Pendidikan kaum hawa masih termarjinalkan. Mereka belum mendapat hak setara dengan kaum adam.

Beredar pandangan di sana, bahwa perempuan Nias memang terlahir sebagai kaum kelas dua. Mereka berada dalam dominasi laki-laki. Lebih ngeri lagi, mereka tak berhak menentukan nasibnya sendiri. Perempuan, begitu lahir ke bumi, pendapat umum di Nias, mereka tak berhak menentukan jalan hidupnya. Lantas siapa yang berhak atas hidup mereka? Keluarganya!

Ini sebuah pandangan yang mengerikan. Pandangan inilah akhirnya menindas hidup Upi dan Mesi. Dua gadis pemalu berkulit putih bersih dari desa Sisarikhi itu putus sekolah karena kegagalan keluarganya memaknai hakikat pendidikan. Tak hanya Upik atau Mesi. Ada belasan anak perempuan seperti mereka di Nias yang putus sekolah. Putus sekolah karena kentalnya pandangan bahwa apa guna perempuan bersekolah, toh juga bakal jadi ibu rumah tangga, bakal hanya di dapur.

Sayangnya, meski fakta tentang ini sudah klasik, upaya menyelamatkan pendidikan bagi kaum perempuan di Nias oleh pemerintah masih setengah hati. Sehingga sejumlah anak perempuan makin tercerabut dari akar sosialnya. Mereka juga tak punya sarana untuk melawan. “Saya sendiri ingin terus bersekolah tapi orangtua tidak bisa berbuat apap-apa. Abang yang meminta saya untuk menganggur,” terang Upi.

Lantaran tak punya pengetahuan luas serta keterampilan lain, Upi dan anak-anak perempuan lainnya yang putus sekolah kesulitan untuk bisa survive. Mereka tumbuh dewasa secara usia namun dengan pengetahuan yang amat terbatas. Mereka kesulitan untuk menikmati apa yang seharusnya hak mereka. Mereka hanya ditugasi menyadap karet. Maka ketika sebuah NGO menawarkan pelatihan keterampilan teknis, Upi dkk amat bahagia. Mereka pun dibimbing sesuai minatnya. Pilihannya hanya tiga: komunitas menjahit, komunitas tatarias/bersalon dan komunitas bikin kue.

Upi memilihi komunitas menjahit. NGO memfasilitasi mesin jahit dan modal awal, berupa kain, jarum, benang, meteran, penggaris, buku dan pensil. Satu kali diberi pelatihan menjahit, lalu sekali seminggu dibimbing. Ada pembimbing untuk tiap komunitas yang ditugaskan oleh NGO tersebut. Dan setiap pembimbing hadir seperti kakak kandung bagi anak-anak di komunitas tersebut.

Di komunitas tatarias misalnya, ada di desa Loloana’a, Kecamatan Alasa, Nias utara, Komunitas ini belajar menyalon di ruang tengah rumahnya Firmantus Hulu, warga setempat. Komunitas salon ini berjumlah sepuluh anak. Semuanya perempuan. Ada Nita Hulu, 13 tahun dan sudah pintar menggunting, menyanggul, merebonding dan merias. Ada juga Mega Hulu dan Besta Hulu, semuanya masih anak umur di bawah 13 tahun.

Hasafati Hulu, Ayah Mega mengatakan tak ada pilihan lain bagi anak-anak mereka karena pendidikannya rendah. Dengan dibekali keterampilan bersalon, kata Hasafati, ada modal bagi anak-anak mereka yang putus sekolah untuk mencari kerja. Pelatihan merias digelar sekali dua minggu. “Kkami menyediakan ruangan kecil ini untuk dipakai anak-anak belajar menyalon. Kami ingin anak-anak kami lebih kompak. Dan kami senang mereka ada kemajuan, daripada cuma tau menyadap karet,” kata Firmantus.

Anak-anak seperti Besta Hulu sudah belajar berdamai dengan dirinya sendiri. Mereka sudah bisa menerima keadaannya yang putus sekolah. Maka di komunitas salon inilah ia menaruh harapan untuk bisa kelak mandiri. Ia merasa, hadirnya komunitas ini menolongnya melewati masa-masa galau tak bersekolah. Ia bahkan berencana akan membuka usaha tata rias dan salon.

14300771621631036733
14300771621631036733
Selain jahit dan salon, ada juga komunitas boga di Desa Dahan, Kecamatan Alasa. Kelompok ini belajar membuat kue dengan bantuan internet. Mereka mengakses internet via telepon seluler. Di kampung ini, kehadiran komunitas boga menghadirkan spirit baru bagi anak-anak perempuan di tengah kencangnya stigma 'buat apa perempuan sekolah.'

Yuliana, salah satu anggota komunitas, makin sadar bahwa belajar itu bisa lewat internet. Mereka terampil bikin kue dengan kemauan mengakses internet. Kue-kue yang mereka bikin lalu dijajakan dari pintu-ke pintu. Sebagian dibawa ke sekolah atau ditebar di warung-warung.

Sayang, ketika hendak ditanya apa tindakannya untuk menolong anak-anak perempuan bisa sekolah, kepala desanya malah keburu mabuk. Rupanya sebelum hadir ke tempat rembuk, duluan minum tuak. Akhirnya, pertanyaan pun menggantung. Akhirnya, nasib anak-anak perempuan Nias

14300787641510492499
14300787641510492499
Dari pelosok Nias, kami bergerak menuju Nias Barat. Kami menemui Yudi Suprapti,Koordinator pengawas Dinas Pendidikan Nias Barat. Menurut Yudi, ada 105 SD Negeri di Nias Barat. Katanya, belum ada upaya khusus dari Dinas Pendidikan untuk persoalan tersebut. Dinas pendidikan katanya selalu memberikan kesempatan bagi siapa pun untuk mengakses pendidikan. “Menurut saya, anak anak di Nias Barat tidak ada yang bodoh. Yang ada hanya karena mereka belum mendapat akses yang memadai terhadap layanan pendidikan bermutu. Sayangnya guru-guru di sini banyak yang bandel dan ngeyel. Sudah enggak tahu tapi banyak omong. Jadi kita harus kerja keras mensupervisinya,” kata wanita berdarah asli Jawa itu. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun