Ada banyak orang termasuk saya yang beranggapan bahwa hidup itu merupakan anugerah terbesar dari Tuhan. Semua hal yang kita alami, kita terima dan kita nikmati baik itu yang menyakitkan maupun juga yang menyenangkan merupakan anugerah Tuhan. Pada kenyataannya semua orang termasuk saya juga menginginkan bahwa apa yang kita alami merupakan hal yang menyenangkan. Dan ketika kita mengalami atau menerima yang menyenangkan, maka kita akan mengatakan di dalam hati bahwa Tuhan itu sungguh baik dan hadir di dalam seluk beluk kehidupan kita.
Kesulitannya ialah bahwa tidak mungkin apa yang terjadi di lingkungan kita atau hidup kita merupakan hal yang kita inginkan. Seperti kata banyak orang bahwa hidup ini seperti sebuah keping atau koin yang memiliki dua sisi. Isi kedua sisi itu ialah kebahagiaan dan penderitaan, dan masing-masing orang akan mengalaminya. Ada juga yang mengatakan bahwa hidup ini seperti sebuah lingkaran. Seperti sebuah lingkaran yang selalu berputar, begitulah hidup kita, kadang berada di bawah, yaitu penderitaan, dan kadang juga berada di atas, yaitu kebahagiaan. Itulah hidup menurut perspektif banyak orang.
Lalu saya berpikir, seandainya hidup memang demikian adanya pasti saya sudah cepat sembuh dari luka yang selalu menggerogoti hati dan pikiran saya.
Sejak kecil saya tidak mengenal siapa orang tua saya. Saya hanya dirawat oleh abang saya. Awalnya saya beranggapan bahwa bahwa dia itu bukan abang kandung saya, karena bisa saja dia itu orang asing yang baik hati dan mau merawat saya. Tetapi setelah dia memperlihatkan kepada saya foto keluarga saya, barulag saya percaya. Saya melihat dia ada di sana. Dari dirinya, saya mengetahui bahwa bapak dan ibu meninggal karena ditabrak bus besar ketika sedang mengumpulkan barang-barang bekas di pinggir jalan. Saat itu saya masih berusia 1,5 tahun.
Keadaan hidup yang serba kekurangan membuat saya sulit untuk bertumbuh. Sejak bapak dan ibu pergi, abang saya berhenti sekolah, bukan karena tidak mau bersekolah tetapi karena tidak sanggup membayar uang sekolah. Saat itu dia duduk dibangku SMP. Setelah berhenti sekolah, dia hanya fokus untuk mencari nafkah dengan melanjutkan profesi bapak dan ibu, yaitu sebagai pemulung. Syukur kepada Tuhan dia berhasil memenuhi kebutuhan kami, bahkan beliau juga sanggup menyekolahkan saya.
Apa yang telah dilakukan oleh abang saya kepada saya menjadi motivasi dalam diri saya untuk bersekolah, hingga kini walau dia telah pergi hal itu tetap menjadi motivasi. Setelah lulus SMA saya berniat untuk berhenti sekolah supaya bisa membantunya mencari nafkah, tetapi dia tidak mengizinkannya. Dia memiliki mimpi supaya kelak kami bisa punya rumah dan hidup layak. Mungkin karena sudah lama kami tinggal di gubuk yang berukuran 3x2 meter. Rumah yang dulu ditinggal oleh ayah dan ibu telah ditempati oleh orang lain, karena kami tidak bisa membayar biaya kontrakannya. Karena itu dia memperjuangkan saya untuk kuliah dan mendapat pekerjaan yang layak.
Namun kini saya sungguh menyesal mengingat apa yang telah terjadi saat itu. Saya sungguh menyesal, mengapa saya tidak segera kembali ke kampung setelah menerima surat yang memberitahukan bahwa abang saya sedang sakit. Saat itu memang saya lagi bingung untuk memilih pulang atau tetap bertahan dalam kerja bisnis dengan klien yang sekitar satu minggu lagi akan kelar. Dan kini semuanya menjadi sia-sia. Apa yang saya perjuangkan yang semata-mata ingin membalas kebaikan abang saya dan mewujudkan impiannya kini menjadi sia-sia belaka rasanya. Setelah urusan bisnis selesai saya memang segera pulang ke kampung. Saya pikir, untuk membahagiakan perasaan abang saya, saya membeli banyak baju baru serta handphone. Saya pulang dengan mobil pribadi yang saya peroleh sebagai hasil kerja bisnis kemarin. Saya ingin membawa abang saya untuk ikut bersama saya ke kota, tempat saya bekerja, supaya bisa bersama kembali dengannya.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Saat itu saya tidak tahu harus mengaduh kepada siapa lagi. Saya juga tidak tahu harus berapa kali lagi saya membenturkan kepala saya ke tembok dan meninju tanah sebagai sebagai bentuk penyesalan saya atas apa yang telah terjadi.
Sesampainya di kampung, saya kaget ketika melihat ada sebuah kuburan yang masih baru berada di dekat gubuk tempat tinggal saya dan abang saya dulu. Awalnya saya tidak mau mempercayai prasangka-prasangka yang muncul di dalam pikiran saya saat itu, karena saya sangat yakin bahwa mimpi abang saya akan segera terwujud. Tetapi......... Hati saya terasa sakit. Sepertinya ada yang menikam dari belakang dan rasanya sungguh menyakitkan, ketika saya membaca tulisan yang ada di kayu salib yang berada di atas kuburan tersebut. Sangat jelas bahwa nama abang saya yang tertulis di sana. Sulit untuk menerimanya. Saya coba untuk masuk ke dalam gubuk untuk mencari abang saya. “Bang tolong jangan main-main dengan saya,” teriakku di dalam gubuk. Saya sangat yakin bahwa abang saya sedang bermain-main dengan saya untuk membuat saya terkejut, karena itulah yang biasa kami lakukan sejak dulu.
Tetapi setelah satu jam mencarinya, saya tidak juga menemukannya. Saya hampir mempercayai apa yang ada dalam pikiranku saat itu, namun selalu saya tentang. Saya sungguh tidak mengharapkannya.
Tiba-tiba tetangga saya yang tinggal disebelah tempat kami tinggal datang dan langsung memeluk saya dengan begitu eratnya. Dia membisikkan suatu kalimat yang sungguh sulit untuk saya terima, “Kuatkan hati mu, dia telah pergi dua hari yang lalu”. Layaknya seekor singa yang sedang marah, saya berteriak dengan begitu kerasnya.
Sepanjang malam saya tidak berhenti menangis di atas makam abang saya. Saya selalu memanggil abang saya berharap dia bangkit kembali dan saya pun berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan itu lagi. Saya sungguh minta maaf kepadanya. Tetapi apa daya, nasi telah menjadi bubur. Abang saya telah pergi dan tidak akan kembali untuk selamanya. Saya tidak menyangka bahwa seeorang yang sangat berarti dalam hidupku telah tiada.
Sudah 3 bulan berlalu, namun saya masih membayangkan bahwa itu baru saja terjadi. Saya selalu berpikir jika seandainya saya segera pulang ke kampung dan merawat abang saya, pastilah kini kami akan hidup bahagia sesuai dengan impiannya yang pernah dia ucapkan kepada saya saat itu. Saya sungguh menyesal. Sekarang saya tidak tahu kapankah lingkaran hidupku berputar ke atas atau koin saya berbalik sisi. Sejak kecil hingga sekarang saya merasa bahwa hidup itu sungguh pahit, dan saat lingkaran hidupku hampir berada di atas dan koin hidupku hampir berbalik, hidup kembali pahit lagi. Kalau memang ini merupakan anugerah dari Tuhan, saya hanya bisa berharap supaya saya segera disembuhkan dalam menjalani hidup di dunia ini. Pasti ada hikmah dari peristiwa yang saya alami saat ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI