Suatu malam, saya diajak oleh seorang teman untuk nongkrong. Karena kami sama-sama menyukai kopi, kami pun mengambil tempat nongkrong yang menjajakan aneka jenis minuman kopi. Saat itu kami pergi ke tempat ngopi yang berlokasi di pinggir jalan raya. Suasananya tidak begitu ramai dan tempatnya juga bersih dan nyaman.
Seperti biasanya, saya memesan Vietnam drip dan teman saya itu memesan caramel macchiato. Kami tidak memesan cemilannya karena yang tersedia di tempat itu hanyalah sate bakar. Kami hanya sekedar menikmati suasana malam sambil bercerita tentang apa saja yang terlintas di pikiran kami, bukan mau makan malam. Karena itu, kami tidak memesan sate bakarnya.
Suatu ketika, saat kami sedang larut dalam keasyikan ngobrol, tiba-tiba seorang pemulung lewat persis di samping meja tempat kami nongkrong. Pemulungnya seorang bapak yang sudah tua. Beliau menuntun sepedanya untuk membawa dua buah karung yang berisi hasil pemulungannya. Karena malam itu gerimis, saya bisa melihat dengan jelas badannya yang kedinginan akibat pakaian basah yang masih dikenakannya.
Sejenak saya mengabaikan obrolan teman nongkrong saya. Kehadiran bapak pemulung itu menarik perhatian saya. Jelasnya bapak itu menghadirkan rasa iba dalam hati ku. Tiba-tiba hatiku membandingkan motivasi nongkrongku dengan keadaan bapak pemulung tersebut.
Saya masih ingat jelas bahwa alasan kami nongkrong ialah untuk menghilangkan rasa bosan dan kejenuhan. Kebetulan hari itu hari libur dan kami tidak pergi ke mana-mana. Akhirnya kami putuskan untuk nongkrong.
Kehadiran bapak pemulung itu membuat saya menjadi malu dengan motivasi nongkrongku tersebut. Saya masih digelisahkan dengan rasa bosan dan kejenuhan diri dan akhirnya memilih nongkrong sebagai obatnya. Sementara bapak tersebut, boleh jadi dia tidak lagi mengenal bosan dan kejenuhan akibat keadaan ekonomi yang ia alami. Yang ada dalam pikirannya boleh jadi hanyalah bagaimana agar beliau dan keluarganya bisa mendapat sesuap nasi untuk tenaga bertahan hidup satu hari. Sungguh suatu keadaan yang sangat tidak adil.
Yang paling kukesesalkan ialah saat itu saya hanya larut dalam pertentangan antara rasa iba terhadap bapak itu dan ejekan kepada diriku yang terlalu manja dalam menghadapi kehidupan ini. Saya menyesal karena tidak segera membelikan sesuatu kepada beliau atau pun memberi sedikit kepada beliau sebagai bekal yang bisa dibawanya pulang ke keluarganya. Saya hanya melihatnya dan memikirkannya tanpa tergerak untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi dirinynya.
Tiba-tiba teman saya kembali menarik perhatianku pada obrolannya dan itu membuat saya melupakan sejenak pemandangan terhadap bapak pemulung tersebut. Akhirnya karena merasa tidak nyaman dengan keadaan malam itu, saya pun meminta agar kami menyudahi tongkrongan tersebut.Â
Alasan yang saya berikan kepada teman saya tersebut ialah karena ada tugas yang perlu dipersiapkan untuk pekerjaan besok. Saya akui saya berbohong terhadapnya, namun itu kulakukan untuk membela sikap jujurku akan rasa iba ku terhadap bapak pemulung yang sudah pergi melalui tempat kami nongkrong malam itu.
Siapa pun yang bertemu dengan bapak itu, semoga Tuhan menggerakkan hati mereka untuk membantu beliau. Saya pun berjanji jika bertemu dengan beliau, akan memberikan sesuatu kepadanya sebagai ungkapan syukurku atas kesadaran hidup yang telah ia berikan kepadaku malam itu. Bagiku, beliau bagaikan malaikat pelindung, yang melindungiku terhadap bahaya rasa manja dalam menjalani kehidupan di dunia ini.