Suatu malam, beberapa orang datang bertamu ke komunitas kami. Di antara mereka yang bertamu, ada seorang dokter kecantikan. Meskipun berprofesi sebagai dokter kecantikan, beliau juga mampu memberikan resep obat untuk beberapa penyakit. Kepada dokter inilah kami selalu berkonsultasi setiap kali ada anggota komunitas yang sedang sakit.
Saat sedang asyik bercerita, entah apa gerangan, dokter itu menawarkan kepadaku pengobatan untuk memperhalus wajahku yang mengalami luka-luka kecil bekas jerawat. Beliau menjamin bahwa setelah perawatan itu wajahku akan bersih dari bekas luka jerawat tersebut.
Namun belum sempat saya membalas tawaran dokter tersebut seorang ibu berkomentar demikian: "Tidak usah, nanti tambah ganteng. Begini aja pun udah ganteng. Yang penting selama masih mengenakan jubah pasti akan ganteng".
Mendengar komentar tersebut saya mengurungkan balasanku terhadap tawaran dokter itu. Saya hanya tersenyum saat itu dan mengancungkan jari jempol ke arah ibu yang berkomentar itu sebagai tanda terima kasih atas dukungannya.
Lalu topik pembicaraan kami pun beralih ke hal yang lain hingga pertemuan itu bubar.
"Selama masih mengenakan jubah pasti akan ganteng". Komentar ibu itu selalu melintas di pikiranku. Bagiku, komentar itu adalah dukungan untuk tetap setia pada jalan panggilan yang telah Tuhan anugerahkan kepadaku. Tidak perlu membuat wajah mulus agar orang tertarik, karena dengan jubah yang saya kenakan pun sudah sangat membuat banyak orang tertarik kepadaku.Â
Jadi ketertarikan orang lain kepada ku bukanlah ditentukan berdasarkan "kegantenganku" melainkan panggilan yang kujalani saat ini. Lagi pula, ketertarikan itu muncul atas dasar keinginan mereka untuk dekat dengan Tuhan yang menjadi inti perwartaan ku sebagai orang yang terpanggil, bukan untuk dekat diriku secara pribadi.
Itu artinya, bukan karena dirikulah banyak orang tertarik kepadaku, dekat kepada ku dan sering mengajak foto bersama dengan ku. Semuanya itu hanyalah karena panggilan Tuhan yang sedang kujalani saat ini.Â
Singkatnya, mereka melihat Tuhan bukan diriku. Dengan demikian, setiap kali mereka dekat dan berfoto dengan ku, mereka sedang dekat dan berfoto dengan Tuhan. Aku hanyalah alat di tangan Tuhan untuk menampakkan Tuhan di hadapan mereka.
Bagiku, itu semua adalah konsekuensi panggilan. Saya dituntut untuk senantiasa membawa Tuhan kepada mereka, membuat mereka mengalami kedekatan dengan Tuhan. Untuk itu, dengan sendirinya, hidupku dan pribadiku pun hendaknya (bahkan sudah seharusnya) menampilkan citra Tuhan di hadapan mereka.