Tadi sore, sekitar pukul 15.10 WIB, saya mendampingi seseorang latihan bermain organ. Dalam latihan itu saya sempat marah kepadanya ketika ia berulang kali melakukan kesalahan yang sama. Padahal saya sudah memberitahukan tekhnik yang harus ia lakukan untuk menghindari terjadinya kesalahan tersebut.
Akhirnya setelah menerima amarahku yang saya ungkapkan lewat nada suara yang sedikit tinggi, ia mulai berkonsentrasi bermain organ. Yang sebelumnya ia tersenyum saat melakukan kesalahan, namun setelah saya "marah" senyum itu ia ganti dengan perkataan, "Aduh maaf pak".
Saya senang dia segera berkonsentrasi untuk latihan dan syukur kepada Tuhan bahwa sore itu ia mampu menyelesaikan materi latihannya dengan baik. Lalu sesuai dengan kesepakatan awal kami, bahwa latihan tidak boleh lebih dari satu jam, maka sekitar pukul 16.00 WIB, kami menyudahi latihan sore itu.Â
Sebelum pulang saya minta maaf karena sudah marah kepadanya dan ia pun membalasnya dengan juga meminta maaf karena kurang fokus dalam latihan. Setelah itu, seperti biasa, saya memintanya untuk terus melakukan latihan gerakan jari agar dalam latihan selanjutnya jari-jarinya semakin mahir dalam menekan tuts organ.
Dari pengalaman sore itu saya melihat bahwa adakalanya marah diperlukan untuk kebaikan yaitu saat kita hendak memberi suatu penegasan. Memang tidak selalu menjadi pilihan cara mengingat tidak semua orang bisa menerimanya. Namun sore itu kelihatannya saya berhasil membuatnya menjadi berkonsentrasi latihan sejak saya memarahinya atau lebih tepatnya meninggikan nada suara ku untuk memberi penjelasan terhadapnya.
Saya bersyukur bahwa ia bisa menerima rasa marahku itu sebagai pendorong baginya untuk meningkatkan kualitas dirinya. Jika seandainya saat itu ia "ngambek", mungkin saya pun harus berpikir ulang untuk mencari dan menemukan cara terbaik menegaskan sesuatu kepadanya.
Namun bukan berarti bahwa selama ini saya selalu marah kepadanya. Sejauh yang saya ingat, barulah sore itu saya marah kepadanya dan saya pun heran mengapa ia sore itu latihannya kurang baik. Apakah ia sedang memiliki masalah? Saya tidak tahu. Saya hanya bisa menanyakannya di dalam hati sambil berharap agar ia mampu menyelesaikannya jikalau benar ia memiliki masalah.
Saya bukanlah tipe pemarah. Namun sore itu saya sadar untuk memilih marah sebagai cara mengajarinya ketika ia telah berulang kali melakukan kesalahan yang sama. Jadi, bukan hendak membela diri atas marah yang saya lakukan, namun sore itu saya mengerti bahwa tidak persoalan jika sesekali kita marah asal tujuannya ialah demi kebaikan dan untuk memberi penegasan tentang kebaikan.Â
Sesuatu yang tegas memang sering terkesan tidak mengenakkan, namun itu perlu untuk kebaikan. Demikianlah marahku sore itu saya mengerti. Tidak ada rasa benci di dalamnya, yang ada adalah niat yang baik.
Satu lagi, jangan lupa untuk meminta maaf setelah marah. Tujuannya ialah agar yang kita marahi itu segera mampu melihat kebaikan di balik rasa marah yang kita itu.