Suatu hari, saya memposting foto salah seorang dari saudara kami di group whatsapp (WA) komunitas kami. Sebenarnya, apa yang saya lakukan itu adalah hal yang biasa karena masing-masing dari kami yang tergabung dalam grup WA tersebut pernah dan sering melakukannya.
Kami melakukan itu untuk menciptakan suasana akrab di antara kami karena di sana kami bisa "saling ejek" satu sama lain.Â
Namun hari itu suasananya berbeda dari yang biasanya. Hari itu, saudara yang fotonya saya posting di group, tersinggung dan minta agar saya menghapus fotonya. Dan segera saya pun menghapus foto itu meskipun saudara-saudara yang lainnya menganggap bahwa foto itu masih terbilang biasa-biasa saja. Artinya, tidak ada unsur negatif di dalamnya, seperti menghina atau merendahkan. Namun karena saudara yang bersangkutan tersinggung dan minta untuk dihapus, maka saya pun menghapusnya.Â
Setelah peristiwa itu, keakraban kami terganggu. Tidak ada lagi yang berani memposting foto tentang masing-masing kami di group. Relasi saya dengan saudara itu juga menjadi terasa dingin. Dan akhirnya, tidak lama setelah itu, saya pun minta maaf karena telah membuatnya tersinggung. Beliau juga minta maaf dan menjelaskan mengapa ia menjadi marah saat fotonya saya posting di group WA kami.Â
Dari peristiwa itu, saya mengerti bahwa tidak selamanya candaan itu baik. Adakalanya, suasana hati yang kepadanya kita bercanda sedang tidak siap untuk menerima candaan dari kita. Saat itu yang terjadi, adalah lebih baik untuk tidak saling mempersalahkan dengan melihat peristiwa itu sebagai sesuatu yang tidak adil. Ketidakadilannya ialah mengapa ia menjadi tersinggung padahal hal itu biasa kami lakukan.Â
Memperhatikan keadaan hati saudara juga merupakan suatu keutamaan yang harus dibina dalam hidup berkomunitas. Jika kita hanya bertahan pada kebenaran diri semata, maka relasi persaudaraan pun cepat atau lambat akan retak. Oleh karena itu, dari peristiwa itu saya menarik kesimpulan bagi diri ku sendiri bahwa keadaan hati teman haruslah menjadi pertimbangan saat kita hendak berbuat sesuatu kepadanya.Â
Hal lain yang baik yang bisa kutarik dari peristiwa itu ialah, saya harus bisa melihat ketersinggungan saudara yang di sekitar ku kepada diriku sebagai kesempatan untuk introspeksi diri. Mungkin ini hanyalah dugaan semata, namun tetap berguna jika diterapkan dalam relasi persaudaraan.Â
Bagiku sendiri, saat ada teman yang tersinggung kepadaku, saya akan melihatnya sebagai suatu ukuran bahwa apa yang saya lakukan telah kelewatan batas normal. Dalam kasus ku yang di atas, meskipun bagi saudara-saudara yang lainnya bahwa apa yang saya lakukan itu masih normal sifatnya, namun belum tentu itu yang sebenarnya terjadi.Â
Bisa jadi, ketersinggungan saudara itu kepadaku terjadi karena selama ini saya memang sudah tidak memperlihatkan kesopanan terhadapnya, entah itu dalam tutur kata pun dalam sikap terhadapnya. Mungkin bagi saya itu hanyalah candaan, tapi bagaimana pun juga, keterlaluan tidak pernah menjadi bagian dari canda.Â
Oleh karena itu, sesaat saat temanku itu tersinggung kepada ku, maka saya pun segera melihat bagaimana selama ini caraku bersikap kepadanya. Dan dari sana, saya akan memulai suatu sikap yang baik dan berkenan kepadanya, terlebih mengupayakan suatu sikap yang terukur dalam hal sopan dan santunnya.Â