Hari itu saya baru saja memimpin ibadat penguburan orang mati. Itu adalah pengalamanku yang untuk ketiga kalinya. Meskipun sudah tiga kali saya lakukan, namun apa yang kurasakan saat hendak mempersiapkan diri untuk melakukan tugas itu, selalu sama. Saya bingung untuk membuat renungan kepada mereka.
Satu sisi, saya harus menegaskan isi iman tentang kematian kepada mereka dan sesungguhnya itulah tugas saya sebagai utusan Gereja. Namun di sisi lain, saya mengerti kalau rasa duka yang meliputi hati dan pikiran mereka terkadang membuat isi iman itu terasa sulit untuk didengarkan. Bahkan saya selalu merasa kalau saya itu sedang menghakimi mereka dengan mengutarakan isi iman kepada mereka, terlebih saat bacaan Kitab Suci yang diambil berbunyi demikian: "Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan" (1 Tes 4:13).
Sebagai orang yang beriman, mereka pasti mengerti isi Kitab Suci tersebut. Namun sebagai orang yang sedang dalam situasi duka, saya yakin, hal itu tidak mudah untuk mereka terima.
Akhirnya meskipun selalu diliputi oleh kegusaran, saya tetap memberanikan diri untuk memimpin ibadat penguburan kepada mereka, karena itu sudah menjadi kewajiban saya. Yang saya bawa kepada mereka ialah bukan semata-mata penegasan iman tentang kematian, tetapi juga rasa empati atas duka yang mereka alami.
Untuk hal itu, saya mendapat beberapa masukan dari para pastor yang ada di komunitas. Dari segi pengalaman, mereka sudah sangat berpengalaman. Oleh karena itu, sebelum menunaikan tugas pastoral tersebut, saya menyempatkan diri mendengarkan kisah pengalaman mereka saat melayani orang yang berduka.
Dari hasil berbagi pengalaman itu, saya mendapat pengetahuan kalau ternyata orang yang sedang mengalami duka itu sangat membutuhkan empati dari kita. Oleh karena itu, sembari menjelaskan isi iman kepada mereka, kita juga harus menunjukkan empati kepada mereka dan sebisa mungkin isi iman itu terbungkus dalam rasa empati yang kita bawa kepada mereka.
Alhasil, meskipun saya tidak merasa begitu yakin kalau saya telah melakukan yang terbaik sesuai dengan yang diharapkan oleh para pastor yang telah berbagi pengalaman kepadaku, namun saya tetap merasa bangga karena telah melakukannya.
Dalam setiap penyampaian renunganku, saya selalu menatap keluarga yang berduka, seolah-olah saya sedang berbicara secara pribadi kepada mereka. Itulah cara saya menunjukkan sikap empati kepada mereka, dan saya merasa bahwa dengan cara itu mereka bisa menerima isi renungan yang saya sampaikan kepada mereka. Hal itu ternyata lewat ucapan terima kasih mereka kepada ku saat ibadat selesai. Mereka juga memohon agar saya selalu membawa keluarganya yang telah meninggal itu di dalam doa-doa pribadi ku, dan dengan senang hati saya menyanggupinya.
Itulah yang selalu saya alami saat memimpin ibadat di rumah duka. Memang tidak mudah, bahkan sangat tidak mudah. Namun sebagai seseorang yang bertugas untuk memberikan penghiburan rohani kepada mereka, penegasan isi iman yang dibungkus dalam rasa empati adalah cara yang tepat untuk itu. Dengan demikian, kita bisa memenangkan hati dan pikiran mereka untuk tetap bertahan dalam iman, dan itulah tujuan kita datang kepada mereka.
Hal lain yang juga perlu ialah, kehadiran kita kepada mereka, terlebih saat peristiwa duka itu baru saja terjadi. Kehadiran kita adalah penghiburan kepada mereka. Oleh karena itu, sebelum ibadat penguburan dilakukan, kita harus selalu menyempatkan diri untuk melayat ke tempat mereka. Mereka sangat membutuhkan kehadiran kita untuk menjadi teman dalam menghadapi situasi duka yang mereka alami.